Pengantar Tulisan-Tulisan Berikutnya

Ternyata sudah 6 tahun berlalu sejak saya terakhir menulis di blog ini. Kini saya menganggap menulis sebagai salah satu kemampuan terbaik saya saja, entah bisa diandalkan atau tidak. Saya berusaha keras untuk memikirkan bagaimana saya ingin tidak menyerah. Saya ingin terus menulis, tapi saya merasa tulisan saya sama sekali tidak indah.

Continue reading “Pengantar Tulisan-Tulisan Berikutnya”

Cerita Senja dan Banyu: 14. Tante Sohita

Aku dan Banyu sama-sama berada dalam lingkungan yang kecil. Kami tidak punya banyak teman, tapi tidak  juga merasa kesepian. Setidaknya, untuk saat ini. Akan tetapi, aku tidak pernah tahu apa yang ada di pikiran Tante Sohita. Sebagai seorang perempuan paruh baya, Tante Sohita tidak terlalu banyak bicara–setidaknya bila dibandingkan dengan Bunda. Beliau juga bukan seseorang yang pendiam. Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi ada sesuatu pada karakter Tante Sohita yang benar-benar membuatnya berbeda. Dan jika kata “berbeda” terdengar begitu negatif, mungkin kata “istimewa” lebih tepat untuk menggambarkannya.

Aku pertama kali mengenal Tante Sohita setelah aku menyelamatkan Banyu dan sepedanya. Ya, di hari yang sama pada perjumpaan pertama kami. Kala itu, Tante Sohita baru saja selesai menari dan tengah membereskan kain-kainnya di ruang keluarga. Aku tidak mengerti apapun tentang kain, batik, serta tenun, tapi Tante Sohita memiliki lebih dari cukup banyak koleksi yang semuanya begitu indah dan cantik.

“Mama, Banyu sebal banget sama Rama. Menyebalkan sekali dia. Tadi sepedaku dibawa kabur, lalu ditinggalkan begitu saja di pantai. Untung aku bertemu dengan teman baruku ini. Namanya Senja. Waktu aku lagi lari-lari mengejar Rama yang membawa kabur sepedaku, Senja datang dan menawarkan tumpangan.” Akhirnya Banyu berhenti bicara setelah bicara panjang lebar dalam satu tarikan napas. Untuk seorang anak laki-laki yang baru kukenal saat itu, ia cukup cerewet. Meski demikian, akhirnya aku mengetahui bahwa Banyu hanya akan cerewet saat ia merasa kesal atau marah. Di hari-hari biasa, ia jarang sekali berbicara, terutama bila berada di tempat yang sama sekali asing baginya.

“Halo Tante, aku Senja,” ujarku kemudian mengulurkan tanganku yang mungil.

“Salam kenal Senja. Aku Tante Sohita.” Baru kali itu seorang perempuan dewasa menyebut dirinya “aku” kemudian memperkenalkan diri. Sejak saat itu, namanya menjadi nama favoritku. Entah apa arti “Sohita”, tapi yang kutahu “Sonita” dalam Bahasa Sansekerta berarti “darah”. 

Aku tersenyum semanis mungkin. Siapa sih yang tidak mau terlihat manis dalam perjumpaan pertama?

“Terima kasih ya, sudah membantu Banyu menyelamatkan mejanya. Kamu sudah makan?” Aku tersenyum lagi, kemudian melirik jam tangan plastik yang ada di pergelangan tangan kananku. Di tutupnya ada gambar wajah Usagi, jagoan Sailormoon kesukaanku. Jam menunjukkan angka 4 dan 5 yang dipisahkan dengan titik dua yang berkedap-kedip. Sudah waktunya aku makan malam.

“Sama-sama. Makan siang sih sudah, Tante,” jawabku cepat setelah melirik jam tangan.

“Kamu suka makanan pedas nggak?” Aku mengangguk-angguk, persis seperti sebuah pajangan mobil yang kepalanya bisa bergoyang dan berputar hingga 360 derajat. Pajangan mobil yang sering kujumpai di mobil milik orang lain biasanya berbentuk anjing bulldog.

Tante Sohita lalu pergi ke belakang dan keluar setelah kurang lebih 2 menit–membawakan sepiring pisang goreng dan semangkuk kecil sambal. “Ini pisang goreng sambal roa. Sudah pernah coba?”

Aku menggeleng. “Sambal roa? Apa itu, Tante?”

“Sambal roa itu sambal khas Sulawesi Utara yang terbuat dari ikan roa, kecil-kecil, mirip ikan teri.” Aku lalu mengangguk-angguk lagi. Pisang goreng sambal roa pertama yang kucicip dalam hidupku adalah buatan Tante Sohita dan sampai saat ini, belum ada yang bisa menandingi rasa masakannya.

Perjumpaan pertama tentu selalu meninggalkan kesan yang berarti. Sebagai orang tua tunggal, Tante Sohita tampak selalu tangguh dan anggun. Mungkin makna kata “tangguh” dan “anggun” amat berkebalikan, tapi keduanya bisa serasi, setidaknya untuk Tante Sohita.

Tante Sohita begitu istimewa karena Beliau selalu tersenyum dengan bibir tipis yang merah merona. Ia juga begitu istimewa karena rambutnya yang panjang, hitam, dan berkilau selalu berhasil mengingatkanku pada bintang iklan sampo, walau ia lebih sering membuntal rambut dan mengikatnya tinggi-tinggi. Hidungnya yang mancung dan kecil terlihat begitu pas di wajahnya. Ah, sebenarnya hampir semua bagian wajahnya terlihat begitu sempurna. Mungkin “simetris” adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikannya.

Meski begitu ramah dan anggun, tidak jarang aku mendapati Tante Sohita melamun di teras rumahnya. Aku rasa Beliau masih sering merindukan ayah Banyu, Om Arga. Selesai melamun, Tante Sohita biasanya masuk ke dapur dan memasak. Setelahnya, Beliau akan mengajakku dan Banyu makan. Saat makan, Tante Sohita pasti berbisik ke telingaku, “Ini masakan kesukaannya Om Arga.”

Aku tidak pernah bertemu dengan Om Arga sebelumnya, tapi sepertinya, salah satu hal yang membuat Beliau jatuh cinta pada Tante Sohita adalah masakannya. Dan tentu, keistimewaannya.

Tante Sohita memang selalu istimewa dan spesial. Seperti halnya martabak. Hehe…

Ilustrasi Tante Sohita yang ada di bagian teratas postingan ini digambar oleh Wana Darma. Terima kasih banyak, Wana! Silakan liat gambar-gambarnya yang lain di -> http://instagram.com/pandaneira

Cerita Senja dan Banyu: 13. Di Pantai

Sudah lama sekali aku tidak bercerita. Ya, bercerita lebih banyak tentangku dan Banyu. Mungkin ada di antara kalian yang merindukan kami. Mungkin. Dan kini aku akan kembali bercerita tentangku dan Banyu, serta tempat favorit kami, yaitu pantai.

Bagiku dan Banyu, pantai bukanlah tempat untuk sekadar bermesraan. Terlebih karena kami bisa bermesraan di mana saja–sesuai keinginan kami. Bagi kami, pantai juga bukan sekadar tempat untuk mencelupkan kaki dan tubuh, juga bukan tempat untuk membiarkan pasir masuk ke sela-sela jari tangan dan kaki. Pantai juga bukan tempat untuk berlarian sambil membiarkan terusanmu yang tipis berkibar-kibar seperti bendera. Pantai pun bukan tempat untuk tersenyum dan tertawa-tawa.

Tentu kamu ingat akan perjumpaan pertamaku dengan Banyu, kira-kira tiga belas tahun yang lalu. Saat itu, aku mengantarnya ke pantai dengan sepedaku, supaya dia bisa mendapatkan sepedanya kembali. Singkat cerita, kami menjadi sering pergi ke pantai bersama sejak saat itu. Sepulang sekolah. Sebelum tidur. Setelah bangun tidur. Kami ke pantai sebagai bocah ingusan. Lalu kami ke pantai sebagai sepasang sahabat. Dan kini, sebagai sepasang kekasih. Aku sendiri tidak terlalu suka mendefinisikan hubunganku dengan Banyu karena aku percaya, ada terlalu banyak hal yang tidak perlu diberi label dan didefinisikan di dunia ini.

Bagiku dan Banyu, pantai adalah rumah kedua. Pantai adalah tempat di mana segala sesuatunya tersedia. Pada banyak kesempatan, aku biasa menonton Banyu berselancar. Ah, tapi jauh sebelum itu, aku telah menemani Banyu saat dia masih belajar berselancar dengan papan yang lebih kecil. Lagi-lagi, saat kami masih ingusan. Baik dalam makna literal maupun tidak, aku dan Banyu sama-sama mudah pilek saat terkena hembusan angin dingin. Dulu sih, kami tidak tahu bahwa berpelukan dapat menghangatkan tubuh kami, sehingga kami lebih banyak menggosokkan kedua telapak tangan kami masing-masing sambil sesekali mengelap ingus yang meler dari hidung mungil kami. Baru setelah kami berpacaran, kami saling menghangatkan dengan berpelukan, terutama jika salah satu di antara kami lupa membawa selimut flanel dari rumah.

Sambil memerhatikan gerak-gerik Banyu saat menari bersama ombak, biasanya aku membaca buku. Atau berbaring di atas pasir sambil memandangi awan-awan yang bergerak perlahan. Usai berselancar, biasanya Banyu menghampiriku, kemudian berbaring tepat di sampingku. Dengan tubuh yang basah dan lengket karena air laut, ia pun hanya berani menggenggam tanganku karena ia tahu aku tidak suka tubuhku basah karena orang lain. Aku lebih suka membiarkan tubuhku basah karena aku memang menginginkannya.

Di saat-saat itu pula, kami membicarakan banyak hal. “Adakah yang lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu bersamamu, Senja?

Pertanyaan Banyu saat itu membuatku terkejut. “Bagaimana kamu bisa mengatakan bahwa menghabiskan waktu bersamaku begitu menyenangkan? Dalam banyak kesempatan, aku lebih sering menangis, mengeluh, dan merengek.”

Masih sambil berbaring di sebelahku, Banyu kemudian menggenggam tanganku lebih erat. “Entahlah. Kamu begitu ekspresif. Kamu itu lucu, kamu tahu?”

Bahkan sampai saat ini, aku tidak pernah tahu maksud perkataan Banyu. “Apa hubungannya ekspresif dengan berbagai tindakan menyebalkanku itu?”

“Seperti yang kamu bilang, ada banyak hal yang tidak perlu dijelaskan di dunia ini. Yang kutahu, menghabiskan waktu bersamamu selalu menyenangkan. Aku merasa seperti anak kecil lagi.”

Banyu lalu membiarkan kepalanya yang masih basah, tertidur di pangkuanku. Entah mengapa, sore itu aku tidak bisa marah. Aku hanya bisa menyisir rambutnya dengan jemariku–seperti biasa. 

Di pantai, aku dan Banyu bisa menghabiskan waktu tanpa memedulikan apapun. Di pantai, kami terbiasa menghabiskan waktu bersama-sama, membicarakan hal-hal yang sepele dan absurd. Karena pantai ini telah mengenal diri kamu jauh sebelum kami mengenal diri kami sendiri. Di pantai, kami menjadi diri kami sendiri–kami menjadi Senja dan Banyu. Yang sesungguhnya.

Ketika Ngeblog Bukan Sekadar Ngeblog

Jika ada yang bertanya mengapa saya memutuskan untuk ngeblog, mungkin jawaban terbaiknya adalah karena saya sangat mencintai dunia tulis-menulis. Saat saya menulis sebuah tulisan dan berhasil menyelesaikannya, saya benar-benar merasa bahagia–apalagi jika tulisan itu dibaca oleh satu orang atau bahkan lebih. Pada awalnya, saya lebih banyak memfokuskan blog saya pada kejadian yang saya alami sehari-hari. Bisa dibilang, dulu blog saya merupakan tempat curhat atau online diary yang bisa dibaca oleh orang lain. Selain berfungsi sebagai online diary, saya juga ‘meletakkan’ banyak tulisan saya yang sudah jadi dan yang sudah dimuat di tempat-tempat lain di dalam blog saya.  Continue reading “Ketika Ngeblog Bukan Sekadar Ngeblog”

Cerita Senja dan Banyu: 12. Tato Pertama Banyu

Aku senang melukis sejak kecil. Bagiku, melukis terasa seperti menuangkan teh hangat dari sebuah teko panas ke sebuah cangkir yang cantik. Menuangkan segala yang panas, hingga akhirnya perlahan menghangat, kemudian mendingin. Kurang lebih, rasanya seperti menuangkan segala isi kepalaku ke sebuah media kosong. Akan tetapi, aku belum pernah membayangkan seseorang melukis di tubuhku–berbeda dengan Banyu yang ingin tubuhnya dipenuhi oleh lukisan. Tiga tahun lalu, Banyu memperoleh tato pertamanya.

Continue reading “Cerita Senja dan Banyu: 12. Tato Pertama Banyu”

Cerita Senja dan Banyu: 11. Saat Banyu Menghilang

Aku terlalu mengandalkan Banyu. Selama ini, dia selalu muncul ketika aku membutuhkannya. Dia kerap menyelinap ke kamarku lewat jendela, berusaha menenangkanku ketika aku merasa sedih atau marah, hingga aku tertidur lelap. Dan begitu dia menghilang, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Continue reading “Cerita Senja dan Banyu: 11. Saat Banyu Menghilang”

Cerita Senja dan Banyu: 10. Tentang Banyu

Selama ini, aku lebih banyak bercerita tentang diriku ketika berbicara tentang Banyu. Jika ada tentang Banyu, itu pun biasanya berhubungan dengan hubungan kami berdua. Hingga pada akhirnya, aku merasa perlu untuk menceritakan siapa Banyu yang sebenarnya–terlepas dari fakta-fakta umum bahwa Banyu senang sekali berselancar dan makan (bersamaku). Jadi, kali ini aku akan bercerita tentang Banyu. Hanya tentang Banyu. Continue reading “Cerita Senja dan Banyu: 10. Tentang Banyu”

Still Alice: Novel Pengingat Diri

Sumber: https://thebooklyclub.files.wordpress.com/ 

Saat baru memulai membaca e-book “Still Alice”, saya sama sekali nggak menyangka bahwa buku ini ‘berat’. Bukan karena novel ini terlalu tebal atau karena topik yang diangkatnya nggak saya kuasai, tapi justru karena tema dan ceritanya. Setelah lama nggak membaca novel, “Still Alice” berhasil membuat saya terhipnotis dengan segala kata-kata dan alur ceritanya. Dari kacamata seorang pembaca, saya telah menjadikan novel “Still Alice” sebagai pengingat diri, terutama karena satu hal.

Continue reading “Still Alice: Novel Pengingat Diri”

Cerita Senja dan Banyu: 09. Tertidur

Banyu seringkali tertidur. Di manapun yang ia bisa, ia selalu ingin tidur. Kadang aku iri padanya, ada malam-malam dimana aku terlalu sulit untuk tidur, dan aku tetap terjaga sepanjang malam, bahkan hingga pagi. Akan tetapi, ternyata hanya ada satu tempat di mana Banyu tidak akan pernah bisa tertidur. Dan aku pun baru saja mengetahuinya.

Continue reading “Cerita Senja dan Banyu: 09. Tertidur”

Cerita Senja dan Banyu: 08. Namaku Senja

Hampir tiga belas tahun yang lalu, aku berkenalan dengan Banyu. Hari-hari berikutnya, kami menghabiskan waktu sebagai sepasang anak kecil yang akan memasuki masa pubertas. Sebenarnya, tidak ada yang terlalu istimewa. Hanya saja, ada satu momen yang tidak bisa kuingat. Dan momen itu berhubungan dengan sebuah pertanyaan dari Banyu. Continue reading “Cerita Senja dan Banyu: 08. Namaku Senja”