Membaca Perjalanan dalam Perjalanan (Ulasan buku The Dusty Sneakers)

Ini kali pertama saya membaca cerita perjalanan dalam sebuah perjalanan dari kacamata seorang pejalan. Di waktu-waktu sebelumnya, saya membaca dari kacamata seorang mahasiswi yang menulis skripsi tentang catatan perjalanan yang ditulis oleh perempuan. Meski dari kacamata yang sama sekali berbeda, membaca cerita perjalanan memang selalu menyenangkan, terutama ketika saya bisa menghubungkannya dengan pengalaman-pengalaman saya sendiri.

Jujur saja, sudah lama saya menunggu untuk membaca habis buku The Dusty Sneakers di tengah berbagai kegiatan saya di Papua Barat. Setelah sebulan berada di sini, akhirnya saya berhasil membaca sampai selesai. Saya begitu puas.

Dalam dua puluh cerita yang dibagi dalam tiga langkah, langkah terakhir dalam The Dusty Sneakers menjadi bagian favorit saya. Meski demikian, cerita Roma: Di Antara Penjual Ganja dan Ruang Gawat Darurat di langkah pertama yang dituliskan Gypsytoes langsung membuat saya meringis. Ketika tengah membaca tulisan ini, sekujur tubuh saya tengah diserang gigitan agas atau lalat pasir (sand flies), sehingga saya terpaksa dipulangkan ke Sorong lebih cepat dari waktu yang direncanakan. Kisah saya di sini dan Gypsytoes bisa dibilang mirip. Gypsytoes diserang bed bugs dan saya diserang sand flies. Meskipun diserang dua serangga yang berbeda, tubuh kami sama-sama dipenuhi ruam. Dan saat menuliskan ulasan ini pun, saya tengah berjuang melawan gigitan nyamuk dan agas dalam balutan balsam yang panas.

Di bagian kedua yang hanya terdiri dari dua cerita, Mencari Gypsytoes di Bangalore yang dituliskan Twosocks juga menjadi cerita favorit saya yang lain. Bahasan eve teasing menggelitik kegelisahan saya yang terkubur selama ini, terutama mengenai pelecehan seksual yang dialami perempuan. Tulisan Twosocks ini sedikit banyak mengingatkan saya akan penelitian skripsi saya, ketika saya membaca blog dari Rakhee Ghelani, perempuan pejalan sekaligus feminis yang menuliskan pengalamannya sebagai perempuan India yang besar di Australia, kemudian melihat negeri kampung halamannya dari kacamata seorang feminis.

Menilik fenomena eve teasing, sebagai seorang perempuan, saya sadar bahwa hal tersebut tidak hanya terjadi di India. Di Jakarta, di Sorong, di Istanbul, di manapun saya berada, kemungkinan menjadi korban eve teasing akan selalu ada. Dan cat calling, sebagai salah satu bentuk dari eve teasing, yaitu tindakan menggoda dengan bersiul atau memanggil-manggil perempuan yang lewat, adalah salah satu kasus yang paling sering saya alami. Selama ini saya selalu berusaha cuek menanggapi cat calling, tapi sekali waktu saya pernah mengacungkan jari tengah, dan saya sangat terkejut akan kenekatan saya melakukan itu. Si pelaku cat calling saat itu sama terkejutnya dengan saya dan akhirnya berhenti menggoda saya. Saya lega.

Ah, ternyata saya terlalu banyak membicarakan diri saya sendiri dalam ulasan buku The Dusty Sneakers ini. Mari, izinkanlah saya untuk membahas langkah ketiga.

Gypsytoes membuka langkah ketiga dengan manis. Antara Taipei dan Jakarta langsung mengingatkan saya akan rumah. Saya rindu mie ayam dan nasi campur. Seorang bibi dan keluarganya tinggal di Taipei, dan tulisan Gypsytoes membuat saya semakin bersemangat untuk bisa mengunjungi mereka suatu hari nanti. Lagi, saya tidak akan berhenti mengingatkan diri bahwa rumah adalah tempat ternyaman, bagaimanapun bentuknya. Saya juga tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada tempat-tempat lain yang membuat saya begitu nyaman hingga mengingatkan saya akan rumah.

Di kisah lain yang dituliskan Twosocks, Wajah Bali yang Murung Sebelah, saya langsung teringat akan setiap perjalanan yang pernah saya lakukan ke Bali, terutama dalam empat tahun terakhir, ketika saya mengunjungi Bali setiap tahun. Ubud yang sepi selalu menjadi favorit saya, dan Kuta yang bising selalu menjadi pilihan terakhir ketika berkunjung ke Bali.

Kerisauan Gung Wa Oka mengenai tarian Bali yang kehilangan ruhnya langsung mengingatkan saya akan tari Pendet yang saya lihat saat melewati salah satu kafe di Beachwalk Mall, Kuta. Rekaman musik gamelan yang mengiringi tarian pun bersaing dengan musik elektronik yang berdentang dari kafe yang lain. Saya memaksakan senyum. Dua tahun lalu saya pernah melihat Tari Barong di Ubud. Penampilan rutin setiap minggu itu setidaknya masih memiliki ruh dibandingkan dengan yang di Beachwalk ini. Saya masih sedikit beruntung.

Membaca perjalanan The Dusty Sneakers dalam perjalanan yang tengah saya lakukan di Papua Barat pada akhirnya menghantarkan saya pada pemaknaan kembali akan setiap perjalanan yang pernah saya lakukan. Perjalanan yang Gypsytoes lakukan dengan teman perjalanan yang berbeda-beda maupun yang sama, kembali mengingatkan saya akan perjalanan-perjalanan yang pernah saya lalui dengan teman yang berbeda, juga dengan tujuan yang berbeda. Mulai dari pelatihan khusus perempuan muda dari berbagai negara, pertukaran pelajar untuk mengajar di panti rehabilitasi, riset untuk novel perdana, hingga jalan-jalan hore dengan teman-teman kelas menulis—semuanya memberikan kesan, kenangan, dan pelajaran masing-masing.

Terakhir, merefleksikan cerita-cerita perjalanan yang saling dibagikan untuk satu sama lain oleh Gypsytoes dan Twosocks, saya langsung berandai-andai untuk memiliki seorang teman perjalanan permanen. Seorang teman yang bisa membagikan cerita perjalanannya dengan saya, mau mendengarkan cerita perjalanan saya, juga yang mau terus berjalan dengan saya.

Dan seperti yang saya ketahui selama ini, hidup adalah sebuah perjalanan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *