Saya tidak tahu harus mulai dari mana, tapi belakangan perasaan saya dilanda sesuatu yang tidak biasa. Jatuh cintakah? Risaukah? Saya tidak mau menggunakan kata galau–saya menghindarinya. Daripada sibuk menggambarkan betapa mendungnya hati ini, lebih baik saya berfokus pada sesuatu yang lain.
Kali ini saya akan menuliskan tentang hubungan aksi dan konsekuensi. Saya selalu ingat akan perkataan Dr. Ernest Wong, trainer Super Teen Camp yang pernah saya ikuti 6 tahun silam. Beliau selalu mengatakan bahkan melantunkan dengan melodi: “Action has consequences… Action has consequences… Action has consequences… Action has consequences…”
Benar atau salah, di usia saya sekarang akhirnya saya menyadari bahwa ini bukan sekadar satu kalimat yang dilantunkan. Dari hampir semua pengalaman yang saya miliki, terutama tentang (ehem) jatuh cinta, saya pun menjadi semakin mengerti bahwa setiap tindak-tanduk saya memiliki konsekuensinya masing-masing.
Jatuh cinta pada dasarnya adalah sebuah aksi–aksi yang mengantarkan saya pada berbagai konsekuensi. Konsekuensi paling mendasar adalah patahnya hati saya sendiri. Konsekuensi lainnya adalah saya harus memulai suatu hubungan dengan manusia lain, yang pada akhirnya bisa menjadi suami atau pendamping hidup saya–walaupun saya juga belum berpikir sampai sejauh itu. Bila tidak bisa jadi suami, ya paling jadi mantan pacar saja. Mudah, kan? Ya, semudah itu. Tidak, tidak semudah itu. Konsekuensi jatuh cinta lebih dari itu.
Jatuh cinta bisa membuat saya belajar banyak hal, terutama tentang memahami orang lain. Saya bisa belajar lebih jauh tentang seseorang yang bahkan belum saya kenal sama sekali. Ibarat belajar Ilmu Astronomi, jatuh cinta membuat saya mengenal planet-planet lain selain planet Bumi yang saya tinggali. Semuanya benar-benar baru sekaligus menantang. Saya sih, suka tantangan. Meskipun saya sadar tidak semua tantangan bisa saya lewati dengan mudah seperti membalikkan satu telapak tangan. Dan lagi, proses belajar banyak hal dalam jatuh cinta juga tidak selalu berjalan mulus. Apalagi, untung orang yang keras kepala seperti saya. Kalau bisa mengambil palu, mungkin saya akan mengetukkannya berkali-kali pada kepala saya sendiri. Tapi, masih sayang umur, bok. Hehehe…
Berulang kali saya diingatkan tentang si orang A, B, atau bahkan Z. Saya diingatkan tentang berbagai kemungkinan dan risiko yang akan muncul di hadapan saya. Saya tahu persis, bagaimana semua itu akan kandas dan berakhir begitu saja. Akan tetapi, rasa penasaran selalu berhasil membuat saya membiarkan fenomena jatuh cinta hadir begitu saja. Naksir, ditaksir, sayang, disayang, suka, disuka, cinta, dicinta… Eh, cinta? Saya sendiri pun tidak tahu pasti apa itu cinta. Apapun itu, fenomena jatuh cinta yang hadir selalu membuat saya tergelitik. Ada bunga matahari yang mekar di dada begitu bisa berbagi banyak hal dengan orang itu. Sebaliknya, bunga matahari itu langsung menguncup kembali saat saya dan orang itu tidak bisa berbagi apapun; obrolan, cerita, pengalaman, dsb. Ah, masak saya harus dikelabuhi oleh sesuatu yang tidak pasti? Yang jelas, semua ini menyenangkan.
Di balik semua ketidakpastian itu, jatuh cinta pun menghantarkan saya pada konsekuensi untuk bisa sakit hati. Betapapun seringnya saya jatuh cinta, akhirnya saya sadar bahwa ini adalah sebuah aksi yang memberikan konsekuensi buat hati. Hati saya akan sakit. Hati saya akan gembira. Hati saya akan sedih. Hati saya akan marah. Hati saya akan berubah. Hati saya akan berkembang dan bertumbuh. Lagi, ini adalah sebuah proses.
Yang pasti, bagi saya sendiri, jatuh cinta adalah sebuah aksi yang memberikan bermacam-macam konsekuensi buat hati.
Ya, buat hati.