Pinkie, Gerald, dan Benji tertawa-tawa di lorong sekolah. Tiga orang sahabat yang duduk di kelas 2 SMU Cakra Buana itu, sangat riang pagi hari ini. Kebetulan pula, tiga orang remaja ini selalu sekelas sejak mereka duduk di bangku SMP, hingga sekarang. “Hari ini, kita jalan yuk! Gue bosen banget, masih awal tahun kita sekolah, gitu. Jadi, semangat buat sekolah nyaris nggak ada.”, ujar Pinkie begitu bersemangat.
Category: Prosa
The Invisible Man – Majalah Cerita Kita Tahun 2006
To : magnolia-bittersweet@x-net.co.id
Subject : miss u …
Hi, Nolia! Wazup? Aku sih di Canberra fine-fine aja. Minggu depan, sekolahku ada prom. Terus, aku juga bingung banget. Siapa gadis yang akan aku ajak ke prom? Kamu? Terlalu jauh, ya? Aku sebenernya nggak begitu mikirin prom. Tapi, aku malah mikirin kamu. Continue reading “The Invisible Man – Majalah Cerita Kita Tahun 2006”
Cewek di Kelas Sebelah – Majalah Hai Tahun 2006
Gue Yosua, kelas 3IPA2 SMA Budi Mulya. Di sekolah unggulan kayak begini, bisa dibilang gue cowok yang cukup perfect. Tapi, sekarang ada yang bikin gue penasaran. Lantaran, ada anak baru yang pastinya cewek di kelas sebelah, katanya jago ngelukis, baik banget, juga smart. My dream girl banget, tuh! Gue sih udah liat, tapi belom sempet kenalan. Dan gue, kadang mikirin dia terus. Sampe kebawa mimpi, pula! Beh! Itu juga bukan mimpi gituan, loh …
Continue reading “Cewek di Kelas Sebelah – Majalah Hai Tahun 2006”
Senyum si Piercing – Majalah Kawanku Tahun 2006
Mentari pagi yang terik menyinari SMIP Jaya 1, sekolahku. Aku berada di ronde terakhir di sini. Ketika murid-murid lain tengah mengunyah makanan kantin, kami sedang asyik bercuap-cuap di pinggir lapangan basket. Sahabatku cowok, dan kini ia sedang menyeka air tubuhnya sehabis bermain basket 3 on 3. Di balik banyak piercing yang menggantung di wajah gantengnya, Dhany punya sesuatu yang lain. Kami sudah dekat sejak kelas 2 SD. Tak terpisahkan, atau semacam itulah.
Continue reading “Senyum si Piercing – Majalah Kawanku Tahun 2006”
Tulisan Kebencian
Saya cukup mual begitu membaca tulisan saya ini. Begitu banyak kebencian dan dendam yang saya tumpahkan dalam sebuah tulisan pendek. Saya menghabiskan energi yang begitu besar untuk memendamnya, hingga akhirnya menuangkan semua itu pada sebuah tulisan.
Tulisan yang berjudul “Ketika Aku Merasa Perlu” ini saya buat untuk Writing Session dengan tema “Balas Dendam”. Dari tulisan ini saya belajar memaafkan. Memaafkan keadaan dan diri saya sendiri. Saya masih dan akan terus belajar.
Memori Bu Rahmi
Aku bisa mendengar Hymne Guru terdengar jelas di kedua telingaku. Dinyanyikan oleh kelompok paduan suara sekolahku dengan begitu langkah dan merdu. Hari ini hari Pahlawan, 10 November.
Sudah berbulan-bulan lamanya kami merencanakan perayaan Hari Pahlawan bersama para anggota OSIS. Kami ingin memberikan penghargaan untuk semua guru yang telah menjadi pahlawan penyalur ilmu yang tak ternilai bagi semua siswa-siswinya.
Guru yang paling kufavoritkan adalah Ibu Rahmi. Parasnya cantik, kulitnya putih bersih, dan yang pasti, beliau tidak pernah berhenti tersenyum.
Aku ingat bagaimana aku pernah bertanya satu kali pada Bu Rahmi, “Bu, kenapa Ibu nggak pernah marah sama sekali pada kami? Padahal kan, kami itu bandel banget.”
Semula, ia tertawa kecil begitu mendengar pertanyaanku. “Emangnya kenapa, Sy?” Tanyanya balik.
Aku menggeleng lalu mengangkat bahu. “Ngng… Nggak, nggak apa-apa, Bu. Saya hanya mau tahu saja.” Aku memaksakan senyum dan langsung mengerutkan dahi.
“Ah, kamu ini.” Bu Rahmi menepuk bahuku, kemudian tertawa lagi.
Tawa Bu Rahmi begitu khas, tidak mungkin dengan mudah aku melupakannya.
“Kalian kan masih remaja, wajarlah kalian nakal. Lagipula, untuk apa Ibu marah? Buang-buang energi saja.”
Sampai hari ini, aku tidak pernah lupa jawaban Bu Rahmi. Jawaban mengapa ia tidak pernah marah.
~
Bisa-bisanya aku bengong di tengah perayaan Hari Pahlawan yang begitu meriah.
“Hari ini kita juga akan memberikan penghargaan bagi Alm.Ibu Rahmi Puspa Dewi yang telah pergi setahun yang lalu. Terima kasih atas energi positif, senyum, dan tawa yang pernah dan telah diberikannya pada kita semua selama Beliau mengajar di sini.”
Aku menitikkan air mata. Bapak kepala sekolah memang benar, meskipun Bu Rahmi telah pergi setahun yang lalu, tapi segala yang diberikannya telah memberikan banyak pengaruh bagi kami. Terima kasih, Bu.
~
Cerita ini dipersembahkan untuk Alm.Bu Endah, guru SMA-ku.