Aku bisa mendengar Hymne Guru terdengar jelas di kedua telingaku. Dinyanyikan oleh kelompok paduan suara sekolahku dengan begitu langkah dan merdu. Hari ini hari Pahlawan, 10 November.
Sudah berbulan-bulan lamanya kami merencanakan perayaan Hari Pahlawan bersama para anggota OSIS. Kami ingin memberikan penghargaan untuk semua guru yang telah menjadi pahlawan penyalur ilmu yang tak ternilai bagi semua siswa-siswinya.
Guru yang paling kufavoritkan adalah Ibu Rahmi. Parasnya cantik, kulitnya putih bersih, dan yang pasti, beliau tidak pernah berhenti tersenyum.
Aku ingat bagaimana aku pernah bertanya satu kali pada Bu Rahmi, “Bu, kenapa Ibu nggak pernah marah sama sekali pada kami? Padahal kan, kami itu bandel banget.”
Semula, ia tertawa kecil begitu mendengar pertanyaanku. “Emangnya kenapa, Sy?” Tanyanya balik.
Aku menggeleng lalu mengangkat bahu. “Ngng… Nggak, nggak apa-apa, Bu. Saya hanya mau tahu saja.” Aku memaksakan senyum dan langsung mengerutkan dahi.
“Ah, kamu ini.” Bu Rahmi menepuk bahuku, kemudian tertawa lagi.
Tawa Bu Rahmi begitu khas, tidak mungkin dengan mudah aku melupakannya.
“Kalian kan masih remaja, wajarlah kalian nakal. Lagipula, untuk apa Ibu marah? Buang-buang energi saja.”
Sampai hari ini, aku tidak pernah lupa jawaban Bu Rahmi. Jawaban mengapa ia tidak pernah marah.
~
Bisa-bisanya aku bengong di tengah perayaan Hari Pahlawan yang begitu meriah.
“Hari ini kita juga akan memberikan penghargaan bagi Alm.Ibu Rahmi Puspa Dewi yang telah pergi setahun yang lalu. Terima kasih atas energi positif, senyum, dan tawa yang pernah dan telah diberikannya pada kita semua selama Beliau mengajar di sini.”
Aku menitikkan air mata. Bapak kepala sekolah memang benar, meskipun Bu Rahmi telah pergi setahun yang lalu, tapi segala yang diberikannya telah memberikan banyak pengaruh bagi kami. Terima kasih, Bu.
~
Cerita ini dipersembahkan untuk Alm.Bu Endah, guru SMA-ku.
:”)
ternyata ide cerita nya bagus
terima kasih banyak 🙂