Cerita Masa Kecil

Ini adalah ceritaku tentang kejadian masa kecil yang tidak pernah kulupakan, yang mengingatkanku bagaimana aku yang masih bertubuh kecil tapi juga pernah menjadi anak kecil, hahaha. Cerita ini sudah pernah dibaca oleh guruku, Mbak Clara Ng untuk tugas Kelas Novel Dasar. 

 

Selamat Membaca!

 

 

Aku ingat suatu kejadian di masa kecil saat aku masih belajar di Taman Kanak-kanak (TK). Waktu itu, umurku masih empat tahun dan adik perempuanku baru satu, Joan.

Bagiku saat itu, bermain dengan teman cowok jauh lebih mengasyikkan dibandingkan dengan bermain bersama teman cewek. Rambutku dulu pendek kayak cowok, sehingga sering sekali orang-orang, terutama orang dewasa meledekku dengan memanggilku sebagai cewek tomboy.

Aku sebenarnya nggak pernah benar-benar mengerti apa itu kata ‘tomboy’. Tapi aku sadar kalau saat masih kecil aku nggak begitu gemar bermain bersama teman-teman perempuan, juga nggak suka ikut menari seperti adikku yang gemar pentas menari tradisional di sekolahnya. Aku paling nggak suka didandanin sebagai cewek tulen saat masih kecil.

Saat itu, aku punya tiga teman cowok yang suka bermain denganku. Ketiganya belajar di satu kelas yang sama denganku. Mereka adalah Dimas, Yabes, dan Kevin. Dimas dan Yabes adalah sepupu, sementara Kevin yang bertubuh gendut adalah teman kami yang tinggal cukup jauh dari sekolah.

Sebelum bel masuk berbunyi atau waktu jam istirahat, kami berempat gemar sekali bermain kejar-kejaran di aula sekolah sampai ngos-ngosan. Kami sering banget main tak jongkok, petak umpet, tak benteng, dan tak patung. Untung rambutku dulu pendek, kalau nggak pasti aku sudah kegerahan karena rambut panjang selalu bikin aku keringatan.

Suatu hari, begitu aku sampai di rumah, aku bercerita ke mama kalau aku disetrap di sekolah. Mama bingung sekali waktu mendengar aku disetrap. “Fin, kamu kenapa bisa disetrap? Emangnya kamu bandel?”

Aku menggeleng. Dengan enteng aku menjawab, “Tadi temen-temenku ditanyain siapa aja yang nggak bawa topi… Terus Dimas, Yabes, sama Kevin nggak bawa topi. Ya udah deh, aku bilang aja aku nggak bawa topi.”

Mama melotot karena heran. “Topi kamu bukannya udah mama masukkin ke tas, ya?”

Aku mengangguk. “Iya, tadi Sefin bawa topi kok, ma.”

“Kamu bawa topi… Tapi, kenapa kamu bilangnya kamu nggak bawa topi?” Mama tambah heran.

“Yah kan asyik ma disetrap rame-rame.” Aku nyengir.

“Wah, dasar kamu.” Mama menertawaiku. “Solidaritasnya tinggi juga, ya.” Aku mengangguk-angguk saja waktu itu, padahal aku nggak tahu apa arti kata ‘solidaritas’.

Begitu aku dewasa, mama sering sekali menceritakan kejadian lucu ini padaku, meskipun aku sendiri nggak begitu ingat detilnya. Kurang lebih, kejadian itu berlangsung seperti di atas.

Saat aku belajar di Sekolah Dasar (SD) akhirnya aku mengerti betul apa arti kata ‘tomboy’ dan ‘solidaritas’. Mama juga membantuku memahami arti kedua kata ini. Mama saat itu bilang bahwa cewek yang tomboy adalah cewek yang berperilaku sedikit seperti cowok. Aku sadar sekali kalau aku memang berperilaku seperti cowok, apalagi aku dulu gemar sekali bermain sepak bola dan bermain sepeda dengan teman-teman cowok. Mama lalu menjelaskan padaku kalau solidaritas itu adalah tenggang rasa. Aku sebenarnya bingung apa itu ‘tenggang rasa’, tapi waktu mama menyebutkan ‘setia kawan’, akhirnya aku mengerti. Dari kecil, aku memang senang sekali berteman dan bergaul.

Sampai saat ini, aku tidak pernah melupakan cerita ini, cerita yang sering kali mama ceritakan padaku. Kejadian ini membuatku teringat pada teman-temanku saat kecil, juga perilakuku saat kecil—bagaimana aku gemar sekali bermain bersama teman-teman cowok, tidak pernah takut bermain panas-panasan, dan aku begitu cuek. Meskipun aku seringkali diledek sebagai cewek tomboy, aku tidak pernah peduli pada anggapan orang karena saat kecil aku selalu merasa senang.

Menjadi seorang anak kecil sangatlah menyenangkan dan rasanya sangat berbeda dengan apa yang kurasakan pada saat ini. Seorang Sefin kecil tidak pernah begitu khawatir akan apa yang dialaminya sehari-hari, namun seorang Sefin yang bisa dibilang sudah dewasa seringkali khawatir akan berbagai masalah yang menimpanya. Aku rindu menjadi seorang anak kecil yang selalu bisa bersenang-senang dan tidak pernah khawatir atau takut.

Meski begitu, pada akhirnya aku menyadari bahwa seseorang pastilah bertumbuh dan melewati fase-fase seperti yang kualami. Setiap orang pasti berubah dari seorang anak kecil yang selalu didampingi orang lain menjadi seseorang yang dewasa dewasa yang harus bisa mandiri dan berdiri sendiri. Semua ini adalah proses kedewasaan.

Di luar itu semua, aku bisa menemukan satu kemiripan dalam semua proses yang kulalui dari kecil—aku selalu memiliki teman-teman yang tidak pernah aku lupakan. Mereka semua akan terus kukenang, meskipun banyak dari mereka yang belum pernah kujumpai lagi. Inilah proses. Inilah hidup. Inilah yang disebut sebagai proses kedewasaan. 

Mimpi

Ini adalah ceritaku tentang mimpi yang selalu terulang saat ku kecil dan tidak pernah kulupakan. Cerita ini sudah pernah dibaca oleh guruku, Mbak Clara Ng untuk tugas Kelas Novel Dasar. 

 

Selamat Membaca!

 

 

Ketika aku masih tinggal di rumah yang lama, aku sering sekali memimpikan suatu hal berulang-ulang dan mimpi itu terus-menerus tanpa ada kisah lanjutannya. Saat itu, usiaku kurang lebih sembilan tahun.

Di dalam mimpiku, aku tidaklah menjadi tokoh utama, melainkan menjadi orang kedua yang seolah-olah menjadi pencerita. Namun, aku tidak pernah benar-benar memahami arti dari mimpiku tersebut, bahkan hingga saat ini.

Saat itu, aku bermimpi bahwa aku tengah berada di suatu tempat asing, di suatu kota yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Kota itu tampak seperti tidak memiliki kehidupan dan sangat gersang. Panas terasa begitu menyengat di kulitku, sehingga seluruh tubuhku begitu perih. Aku juga tak henti-hentinya berkeringat, hingga berulang kali keringat yang keluar dari dahi turun sampai ke dagu.

Aku pun langsung mengarahkan pandanganku pada langit di kota asing itu, langitnya berwarna oranye seperti warna sebuah jeruk mandarin yang terlihat manis, namun saat kau mencicipinya, jeruk itu terasa sangat masam. Begitu pula suasana hatiku dalam mimpi itu. Warna langit yang oranye dan begitu indah ternyata tidak membuat hatiku bahagia sama sekali. Aku merasa sangat sedih dan aku pun tidak tahu apa alasannya aku bersedih.

Aku seperti seorang musafir di dalam mimpiku itu, seperti seorang tokoh utama di buku The Alchemist karya Paulo Coelho. Aku terus dan terus berjalan, sampai pada akhirnya aku tiba di sebuah lorong yang terletak di antara gedung-gedung tua. Gedung-gedung tua yang tidak dicat dengan struktur tembok bata yang terlihat jelas itu nampak seperti gedung-gedung tua yang ada di film-film Hollywood. Gedung-gedung itu tidak rapuh, namun tidak juga terlihat begitu kokoh. Warnanya oranye kecoklatan dan ada banyak tangga besi berkarat yang menghubungkan tiap lantainya, seperti gedung-gedung yang biasa dipanjat Peter Parker dalam film Spiderman. Bedanya, aku melewati gedung-gedung ini pada sore hari, tidak seperti Peter Parker yang biasa membasmi penjahat pada malam hari dalam kostum manusia laba-labanya.

Di ujung lorong tersebut aku melihat sesosok pengantin wanita, lengkap dengan baju pengantin modern bergaya Eropa dengan kerudung tertutup berwarna putih mutiara. Pengantin wanita itu nampak begitu cantik, namun ada rasa sedih yang terpancar dari dirinya.

Saat aku ingin menghampirinya, tidak lama kemudian pengantin wanita itu lari. Ia tidak lari dariku, tetapi berlari mengejar sebuah bus yang telah meninggalkannya sendirian. Bus itu melaju dengan sangat kencang. Pengantin wanita itu terus-menerus berlari, menyeret gaunnya di jalanan gersang yang berdebu, seolah tidak peduli bila gaunnya akan rusak atau kotor. Sebaliknya, bus yang terus melaju itu tampak tidak bersahabat dan terus melaju, membuat debu jalanan bertebaran hebat, dan meninggalkan kepulan asam hitam dari knalpot tuanya.

Pada akhirnya, pengantin wanita itu menyerah dan jatuh tersungkur di tengah jalan yang penuh debu. Wajahnya masih tampak cantik, namun ia mulai menangis tanpa henti, juga tanpa suara. Ia terlihat begitu kumal dan menderita. Ia terlihat begitu kesepian. Dan ketika aku ingin melangkah lebih jauh untuk menghampirinya, aku pun terbangun dari mimpiku. Aku terbangun dengan perasaan sedih yang tak terkira, juga dengan keringat dingin yang mengucur deras di tubuhku.