Ini adalah ceritaku tentang mimpi yang selalu terulang saat ku kecil dan tidak pernah kulupakan. Cerita ini sudah pernah dibaca oleh guruku, Mbak Clara Ng untuk tugas Kelas Novel Dasar.
Selamat Membaca!
Ketika aku masih tinggal di rumah yang lama, aku sering sekali memimpikan suatu hal berulang-ulang dan mimpi itu terus-menerus tanpa ada kisah lanjutannya. Saat itu, usiaku kurang lebih sembilan tahun.
Di dalam mimpiku, aku tidaklah menjadi tokoh utama, melainkan menjadi orang kedua yang seolah-olah menjadi pencerita. Namun, aku tidak pernah benar-benar memahami arti dari mimpiku tersebut, bahkan hingga saat ini.
Saat itu, aku bermimpi bahwa aku tengah berada di suatu tempat asing, di suatu kota yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Kota itu tampak seperti tidak memiliki kehidupan dan sangat gersang. Panas terasa begitu menyengat di kulitku, sehingga seluruh tubuhku begitu perih. Aku juga tak henti-hentinya berkeringat, hingga berulang kali keringat yang keluar dari dahi turun sampai ke dagu.
Aku pun langsung mengarahkan pandanganku pada langit di kota asing itu, langitnya berwarna oranye seperti warna sebuah jeruk mandarin yang terlihat manis, namun saat kau mencicipinya, jeruk itu terasa sangat masam. Begitu pula suasana hatiku dalam mimpi itu. Warna langit yang oranye dan begitu indah ternyata tidak membuat hatiku bahagia sama sekali. Aku merasa sangat sedih dan aku pun tidak tahu apa alasannya aku bersedih.
Aku seperti seorang musafir di dalam mimpiku itu, seperti seorang tokoh utama di buku The Alchemist karya Paulo Coelho. Aku terus dan terus berjalan, sampai pada akhirnya aku tiba di sebuah lorong yang terletak di antara gedung-gedung tua. Gedung-gedung tua yang tidak dicat dengan struktur tembok bata yang terlihat jelas itu nampak seperti gedung-gedung tua yang ada di film-film Hollywood. Gedung-gedung itu tidak rapuh, namun tidak juga terlihat begitu kokoh. Warnanya oranye kecoklatan dan ada banyak tangga besi berkarat yang menghubungkan tiap lantainya, seperti gedung-gedung yang biasa dipanjat Peter Parker dalam film Spiderman. Bedanya, aku melewati gedung-gedung ini pada sore hari, tidak seperti Peter Parker yang biasa membasmi penjahat pada malam hari dalam kostum manusia laba-labanya.
Di ujung lorong tersebut aku melihat sesosok pengantin wanita, lengkap dengan baju pengantin modern bergaya Eropa dengan kerudung tertutup berwarna putih mutiara. Pengantin wanita itu nampak begitu cantik, namun ada rasa sedih yang terpancar dari dirinya.
Saat aku ingin menghampirinya, tidak lama kemudian pengantin wanita itu lari. Ia tidak lari dariku, tetapi berlari mengejar sebuah bus yang telah meninggalkannya sendirian. Bus itu melaju dengan sangat kencang. Pengantin wanita itu terus-menerus berlari, menyeret gaunnya di jalanan gersang yang berdebu, seolah tidak peduli bila gaunnya akan rusak atau kotor. Sebaliknya, bus yang terus melaju itu tampak tidak bersahabat dan terus melaju, membuat debu jalanan bertebaran hebat, dan meninggalkan kepulan asam hitam dari knalpot tuanya.
Pada akhirnya, pengantin wanita itu menyerah dan jatuh tersungkur di tengah jalan yang penuh debu. Wajahnya masih tampak cantik, namun ia mulai menangis tanpa henti, juga tanpa suara. Ia terlihat begitu kumal dan menderita. Ia terlihat begitu kesepian. Dan ketika aku ingin melangkah lebih jauh untuk menghampirinya, aku pun terbangun dari mimpiku. Aku terbangun dengan perasaan sedih yang tak terkira, juga dengan keringat dingin yang mengucur deras di tubuhku.