Apa yang kamu rasakan di tahun baru kemarin? Sudah hampir dua minggu tahun baru 2015 berlalu. Pada malam 31 Januari 2014 yang lalu, saya mempunyai dua pilihan yang sama sekali berbeda di Pulau Yiliet, Misool, Raja Ampat. Pertama, tidur dan meringkuk di kamar kantor yang cukup hangat dan gelap. Kedua, menunggu tamu-tamu kapal pesiar tiba di Pulau Yiliet untuk merayakan tahun baru dan menonton pesta kembang. Lalu, manakah yang saya pilih?
Saya memilih yang pertama, tidur dan meringkuk di kamar kantor yang cukup hangat dan gelap. Setelah berhari-hari diserang oleh nyamuk dan agas yang ganas, saya merasa tidur nyenyak adalah sesuatu yang benar-benar saya butuhkan. Tubuh saya butuh istirahat dan rihat sejenak. Ditemani dengan suara kembang api yang benar-benar keras seperti suara ledakan bom dan suara samar dari tawa orang-orang yang menikmati malam, perlahan-lahan saya tenggelam dalam tidur.
Keesokan paginya, 1 Januari 2015, semua orang bertanya kenapa saya tidak keluar kamar dan malah tidur semalaman. Kenapa saya tidak turut menikmati malam bersama mereka? Jujur saja, saya memang tidak terlalu menyukai berada di tengah keramaian jika tidak terpaksa sekali. Lalu saya pun menjawab bahwa saya memang memilih tidur daripada berada di sebuah kerumunan yang tidak terlalu akrab dengan saya. Mereka kemudian heboh menceritakan kejadian di malam tahun baru. Mulai dari seorang turis yang mabuk dan menari dengan pohon kelapa, dua manajer kapal pesiar yang bertengkar hebat hingga berguling-guling di pasir, hingga para ranger di pos yang menari di atas meja. Semuanya terdengar begitu menyenangkan, tapi anehnya saya tidak menyesal melewatkannya.
Di hari pertama di tahun yang baru, saya merasa sangat berbeda. Beberapa waktu saya habiskan dengan mengingat-ngingat kejadian apa saja yang telah saya alami setahun terakhir. Saya ingat bagaimana saya membuka tahun 2014 dengan berpesta tahun baru di rumah mantan pacarnya sahabat saya dan saat itu saya juga datang dengan mantan pacar saya. Bingung, ya? Yang jelas, pesta tahun baru 2014 saya habiskan dengan orang-orang yang saya sayangi. Pelukan, ciuman, dan tawa mengisi pesta tahun baru 2014.
Bagi saya sendiri, tahun 2014 adalah tahun yang besar. Pada Januari 2014, saya pergi ke Bangka dengan keluarga inti dan keluarga sahabat Papa. Liburan yang begitu mendadak dan singkat, tapi pasir pantai selalu bisa memikat hati. Selang beberapa hari kemudian, saya kembali mengunjungi Surabaya setelah 5 tahun lamanya, untuk misi #SaveSharks. Bepergian dua kali keluar rumah, saya merasa telah mengawali tahun 2014 dengan positif.
Tapi ternyata saya salah. Memasuki pertengahan tahun, bulan Mei 2014 menjadi bulan yang terpahit. Pada awal bulan, Papa saya terkena serangan stroke entah untuk yang keberapa kalinya. Hati saya begitu terluka. Saya ingat, di suatu Senin, Mama membangunkan saya karena Papa terjatuh di kamar mandi. Saya diminta untuk membantu mengangkat Papa karena Mama tidak bisa mengangkatnya sendirian. Hari-hari selanjutnya berjalan kurang menyenangkan. Papa mengalami demensia atau pikun. Seiring dengan penurunan ingatannya, saya takut sekali bila suatu hari Papa lupa akan saya, anaknya.
Selain musibah yang menimpa Papa, di bulan Mei 2014 juga, saya terkena penipuan di sebuah ATM di kawasan Jakarta Selatan. Uang saya habis dikuras. Saya menangis sejadi-jadinya, tapi Mama bilang tidak apa, itu untuk buang sial. Minggu berikutnya saya diserang oleh pembimbing skripsi saya sendiri, Pak Manneke. Sebenarnya tidak diserang juga sih, tapi beliau bertanya, “Kamu lulus semester depan kan, Sefin?” Semester depan yang dimaksud beliau adalah semester 9. Seusai ditanya begitu, saya pun langsung menangis. Ya, saya akui saya cengeng. Saya tidak bisa membayangkan diri untuk berada lebih lama lagi di kampus. Lambat laun saya pun bersyukur karena Pak Manneke pernah “menyerang” saya seperti itu. Jika tidak, mungkin sampai sekarang saya belum lulus kuliah.
Pada akhir bulan Mei 2014, saya diputusin pacar tepat dua hari sebelum tenggat waktu pengumpulan skripsi dan dua hari sebelum usia hubungan kami mencapai setengah tahun. Sakit? Tentu. Saya merasa diserang bertubi-tubi pada bulan itu. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, Mei 2014 adalah bulan terpahit.
Bulan-bulan setelahnya tidak terasa begitu berat. Saya mulai merasa lega. Selain sidang skripsi yang berlangsung pada Juli 2014, sisa tahun 2014 berjalan dengan cukup menyenangkan. Pada Agustus 2014, akhirnya saya bisa mengunjungi Sulawesi Selatan, khususnya Tana Toraja dan Tanjung Bira untuk pertama kalinya. Saya pergi bersama seorang sahabat yang bernama Tisa dan adik kesayangan saya, Joan. Perjalanan kali itu terasa cukup berbeda karena sudah lama saya tidak bepergian dengan adik saya karena hari-hari kuliah Kedokteran Gigi-nya yang padat, dan itu juga merupakan kali pertama saya bepergian dengan Tisa. Kami menikmati liburan yang cukup menyenangkan dan mengenyangkan karena kuliner yang amat menggoyang lidah, terutama di Tana Toraja. Dan di akhir Agustus 2014, akhirnya saya resmi menjadi Sarjana Humaniora dari Universitas Indonesia. Saya bukan anak kuliahan lagi.
September, Oktober, November, dan Desember 2014 berlalu dengan cukup cepat. Pada akhir September 2014, saya akhirnya bisa menghadiri Ubud Writers Readers Festival yang sudah saya idam-idamkan sejak dulu. Saya menghadirinya dengan empat orang sahabat dari kelas Menulis dan Berpikir Kreatif Bienal Sastra. Mulai dari pemutaran film, bedah buku, hingga poetry slam, hari-hari di UWRF terasa begitu padat dan kepala saya dipenuhi berbagai wawasan baru. Dan sebagai hadiah untuk kelulusan (dari diri sendiri), saya pun melanjutkan perjalanan di Bali dengan mengikuti kursus menyelam bersama dua sahabat lain, Lolita dan Anggoro. Voila! Akhirnya saya resmi menjadi seorang penyelam di awal Oktober 2014.
Pada akhir November 2014, saya berangkat ke Papua Barat untuk magang #SaveSharks bersama Yayasan Misool Baseftin. Saat itu, saya ingat betul berbagai hal yang akan saya lewatkan, mulai dari perayaan Natal dan tahun baru di rumah, hingga perayaan wisuda seorang sahabat. Meski demikian, saya mengambil pilihan untuk tetap berangkat.
Sekarang saya masih berada di Papua Barat. Kulit saya sudah semakin coklat, tubuh saya bertambah gemuk (sedikit), dan ada banyak bekas gigitan nyamuk dan agas yang menghiasi tubuh. Saya baru akan pulang ke rumah sekitar tiga minggu lagi. Rindu rumah? Tentu. Yang jelas, saya tidak menyesali pilihan saya sama sekali. Mengakhiri tahun 2014 di luar rumah membuat saya belajar banyak. Berada di pulau terpencil tanpa sinyal yang bagus membuat saya memiliki lebih banyak waktu untuk merenung. Merenung ya, bukan galau. He. Di sini saya belajar beradaptasi dengan sumber daya yang terbatas. Mandi dengan air payau, minum teh yang asin, hingga makan mie instan tiap hari, sudah menjadi hal yang biasa bagi saya. Lagi, saya belajar bersyukur. Dengan segala keterbatasan yang ada di sini, saya senang sekali karena mendapatkan kesempatan untuk menikmati alam Raja Ampat secara cuma-cuma dan dapat berinteraksi dengan orang-orang yang tinggal di dalamnya.
Tahun 2015 adalah sebuah tahun yang baru dengan berbagai tantangan yang tidak pernah bisa saya prediksi. Sepulang dari Papua Barat, saya harus segera mencari pekerjaan baru agar tidak memegang gelar pengangguran terlalu lama. Jujur saja, saya takut. Akan tetapi, saya juga tahu bahwa dengan takut, saya tidak akan menyelesaikan apapun. Saya akan berusaha menepis segala ketakutan saya dan mengucapkan selamat datang pada berbagai kemungkinan yang akan ada.
Terakhir, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih untuk tahun 2014 yang panjang. Terima kasih telah menampar saya. Terima kasih telah memanjakan saya.