Kini aku bertanya, mengapa marah? Bertahun-tahun manusia memerangi rasa marah, berusaha meredam amarah yang seringkali menyesakkan dada. Rasa sakit hati, benci, marah, dendam, kesal, hingga muak menjadi alasan mengapa manusia sulit sekali mengendalikan amarahnya.
Begitu juga dengan aku, ingin sekali aku menyalahkan masalah genetik sebagai alasan mengapa aku mudah sekali marah. Ingin sekali aku marah-marah setiap saat. Begitu banyak kebencian, begitu banyak dengki. Mungkin aku terdengar berlebihan, tapi ingatkan aku kalau memang hanya aku yang bermasalah dengan pengendalian emosi. Ingatkan aku, beritahu aku, jika ada di antara kalian yang tidak pernah marah sekalipun.
Meluapkan emosi dengan marah-marah pada dasarnya tidak baik bagi kesehatan jantung, juga pada hati kita sendiri. Tapi ada juga yang bilang bahwa memendam sesuatu–termasuk amarah, justru tidak baik sama sekali. Intinya? Memendam sesuatu dan marah-marah sama-sama tidak baik. Dua-duanya sama-sama bikin diriku sendiri sengsara, begitu menurutku. Dengan marah-marah, aku membuang energi banyak sekali. Dengan memendam sesuatu, berarti aku tidak bisa belajar memaafkan siapapun–termasuk diriku sendiri.
“Lalu, mengapa marah?” Pertanyaan ini kerap kali muncul di benakku, muncul ketika aku menyesali saat-saat di mana aku marah. Membuat aku menyesal karena telah mengumpat pada banyak hal, marah pada keadaan yang tidak bisa dirubah sama sekali. Di saat aku marah, aku seringkali menyakiti diriku sendiri. Aku menyimpan amarah setelah sekian lama dan kemudian meledakannya begitu saja. Bodoh? Ya, memang. Aku menyadari bahwa ada saat-saat di mana aku sering bertindak dan berpikir dengan begitu bodoh. Tapi dengan berperilaku bodoh seperti itu, aku belajar bagaimana caranya untuk menjadi lebih pintar. Sedikit lebih pintar. Ya, sedikit saja.
Dan seiring dengan berjalannya waktu, aku semakin sadar bahwa meluapkan emosi dengan ekspresi muka super galak, mengumpat, menyakiti perasaan orang lain dengan kata-kataku–semua itu tidak ada gunanya sama sekali. Semua itu hanya membuatku merasa begitu bodoh karena tidak bisa berpikir dua kali sebelum marah. Mungkin ayat dalam Injil tentang mengasihi musuh seperti aku mengasihi diri sendiri ada benarnya juga. Sulit? Ah, tentu saja. Di dunia ini, tidak ada satu pun yang benar-benar mudah. Setidaknya, begitu menurutku. Jadi, tugasku sekarang adalah belajar untuk memaafkan hal-hal yang membuatku marah. Belajar untuk memaafkan orang-orang yang membuatku marah. Naif memang, tapi beginilah kenyataannya. Sekali lagi, menurutku.
Untuk itu, sekarang aku telah tiba pada suatu kesimpulan bahwa ada banyak hal yang bisa kulakukan untuk bisa menyalurkan emosiku tanpa harus memendamnya. Salah satunya adalah dengan menulis. Sejujurnya, menulis tulisan ini agak sedikit berat bagiku karena begitu sulit bagiku untuk memahami setiap amarah dari masalah. Namun aku sadar, menjalaninya adalah hal termudah untuk bisa memahami. Pelan-pelan, tentu saja. Kini aku semakin percaya bahwa menulis itu menyembuhkan. Kini aku percaya bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja.
Bahkan, Om Bob Marley juga sering berkata, “Don’t worry about a thing, ‘cuz every little thing is gonna be alright.”
[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=8mNGvvOnV18&feature=fvwrel]
Sekali lagi, mengapa marah?