Belakangan, ide tentang kehilangan terus bermunculan di kepalaku. Aku sudah seringkali menuangkannya di berbagai tulisan, namun aku sebenarnya masih bertanya-tanya; apa itu kehilangan?
Bagiku, kehilangan adalah sebuah proses, bukan hanya sebuah momen yang terjadi di dalam hidup. Hidup siapa? Ya hidupku, hidupmu, dan hidup kita. Semua orang pasti pernah merasa kehilangan.
Kita pasti pernah kehilangan benda yang paling kita sukai, seperti aku yang pernah kehilangan sebuah jam tangan Hello Kitty favorit saat sedang berlibur ke Puncak bersama keluarga. Saat itu aku masih duduk di kelas 4 SD dan aku memang tipe anak yang sangat menyayangi barang-barang yang kupunyai, apapun itu. Atau mungkin kehilangan seekor binatang peliharaan? Aku pernah menangis sedih karena ikan-ikan kecil yang kubeli mati dalam waktu dua hari.
Tapi yang terberat tentu kehilangan orang yang kita cintai, orang yang kita sayangi. Orang yang kita temui setiap hari. Suaranya bahkan masih bisa kita dengar saat kita memejamkan mata–meski dia sudah tidak ada. Dan bersamaan itu pula, kita bisa dengan jelas melihat paras wajahnya, senyum ceria, tawa yang lepas, juga saat-saat yang pernah dilalui bersama. Mudah? Tentu tidak.
Pengalaman kehilangan pertamaku adalah waktu Ama meninggal. Waktu itu tahun 2005, bulan Februari yang kelam untuk Mama dan saudara-saudarinya. Ama adalah ibunda dari Mama. Namanya Anastasia. Kata Ii (tanteku), mata Ama berwarna coklat, tapi aku selalu percaya matanya berwarna biru.
Ama adalah nenek kesayanganku. Beliau dulu sering cerita kepadaku tentang Suster Josefina atau Josephina atau Josephine yang mengajar di sekolahnya dulu, sekolah berbahasa Belanda. Ama senang sekali bicara dengan Bahasa Belanda, juga menyanyikan lagu “Potong Bebek Angsa” dalam Bahasa Belanda. Suaranya merdu. Ama yang kukenal tidak pernah marah.
Kalau Ama sedang berkunjung ke Jakarta, beliau selalu menginap di rumahku. Ama cantik sekali, hidungnya mancung. Aku ingat dulu ia pernah menemaniku bermain The Sims. Dan aku gemar sekali mencubit-cubit tangannya yang sudah bergelambir seiring dengan umurnya bertambah. Aku sering berusaha melucu di depannya, menirukan gaya hantu-hantu yang sering ada di TV.
Sampai suatu hari waktu berjalan begitu cepat dan Ama masuk rumah sakit. Singkat cerita, Ama dipanggil Tuhan. Aku masih kelas 1 SMP saat itu. Aku begitu terpukul. Aku belum sempat berguru Bahasa Belanda dengannya. Aku belum sempat membanggakannya. Semua memori itu bahkan masih tergambar jelas di kotak ingatanku. Tubuh Ama di dalam peti, di rumah duka. Proses pemakaman… Semuanya sangat jelas. Kami menangis berirama, irama duka. Aku selalu menjadi salah satu cucu kesayangannya.
Setelah kepergian Ama, aku belajar banyak hal. Banyak sekali. Terlebih sebuah ide tentang kehilangan. Aku melihat orang-orang di sekitarku mulai kehilangan kerabat dan sahabat yang dicintai. Sahabat kecilku, Tasha, kehilangan Omanya. Oma yang selalu tersenyum dan terlihat awet muda. Juga Febby, sahabatku sejak SMP yang kehilangan Papanya karena sakit jantung.
Lalu aku mengenal Kak Anggi saat magang di Cosmogirl! tahun 2010. Kak Anggi adalah sosok terbaik. Sosok paling menggemaskan, mengingatkanku pada Velma yang ada di fim Scooby Doo. Aku ingat bagaimana ia bercerita tentang idolaku, Fitri Tropica. Mereka saling kenal. Kami berjanji untuk bertemu bertiga, kapan-kapan. Tapi aku tahu, momen ini tidak akan pernah tercipta. Hanya bisa sebatas di social media antar kami waktu itu, Twitter. Dan Kak Anggi sudah pergi duluan meninggalkan kami, sekitar enam bulan kemudian. Aku begitu shocked.
Waktu aku magang, ia selalu berusaha menyemangatiku. Membantuku dalam memecahkan masalah, juga memberiku wejangan-wejangan. Bahwa masa muda adalah momen yang tepat untuk bersenang-senang, bahwa kesehatan lebih penting daripada bentuk badan. Terima kasih banyak, Kak.
Kak Anggi, Epin sekarang sudah semakin bahagia. Aku senang sekali bisa mengenal kakak. Terima kasih banyak. Hatur nuhun, teteh. Epin kangen Kak Anggi. Suatu hari kita bisa ketemu lagi, kan? 🙂
Ama, Omanya Tasha, Papanya Febby, Kak Anggi, juga ada Apak Seng-Seng dan Mas Dekun.
Apak Seng-seng adalah kakak ipar dari Papa. Sosok yang selalu bisa dijumpai di halaman rumah saat keluarga kami berkunjung ke rumah Phopho. Ia tidak banyak bicara, tapi selalu murah senyum. Tidak banyak yang kuketahui tentangnya, tapi beliau adalah seorang ayah panutan.
Sedangkan Mas Dekun, hmm… Beliau adalah orang yang tidak akan pernah bisa kulupakan. Keisengannya, juga setiap senyum lebar dengan gigi tanggalnya yang terlihat jelas. Seseorang yang tidak banyak bicara dan sangat apa adanya. Seorang ayah, suami, sahabat, om, senior, juga guru bagi kami semua. Suaranya bahkan masih terekam jelas di telingaku. Bagaimana Mas Dekun memanggilku “Ipin” dan terus menegurku agar bisa bermain biola dengan lebih pede dan yakin. Lalu Mas Dekun pergi beberapa saat yang lalu. Tapi aku yakin, beliau pasti lebih bahagia saat ini.
Waktu selalu berlari, berlari meninggalkan pemilknya. Yang kita perlukan hanyalah mengejar, menjalaninya, dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Jangan sampai ada penyesalan yang tertinggal.
Memiliki selalu datang bersama sebuah kehilangan. Benar-benar tidak ada yang abadi, bukan? Kita menggenggam erat, tapi harus juga bisa melepas dengan mantap. Hidup ini adalah dongeng tentang keikhlasan. Hidup ini adalah sebuah perjalanan.