Semalam saya kembali berbincang dengan seorang teman. Rencana kami untuk menikmati secangkir kopi akhirnya tergantikan dengan sepiring Mie Godog dari sebuah kios Mie Jogja di kawasan Tebet.
Dari semua pembicaraan yang tidak pernah habis, dia kemudian membahas bagaimana ‘menonaktifkan’ diri di sosial media ternyata cukup menyenangkan. Dia pun lalu memberikan ide untuk mencari nama kami masing-masing di Google search engine. Begitu saya melakukan pencarian nama saya sendiri, ternyata ada banyak hal yang saya temukan. Hingga akhirnya saya sadar bahwa tulisan saya ada di salah satu proyek NulisBuku tahun 2011. Proyek buku ini bernama “Lagu Pilihan” dan tulisan saya yang berjudul “Memori” ada di Lagu Pilihan Seri 4.
Pagi ini saya membuka laptop dan mencari tulisan itu. Saya baca ulang. Saya tidak begitu ingat pernah menuliskannya, tapi saya ingat ini bercerita tentang satu orang yang berusaha saya lupakan selama 6 tahun lamanya. Lama, ya? Iya. Berat? Iya. Dia memang tidak pernah lepas dari pikiran saya, namun pada perempatan tahun ini saya toh pada akhirnya bisa melepas dia. Pertemuan terakhir kami tidak pernah terasa sespesial yang saya bayangkan. Saya pikir saya akan kangen dia. Saya pikir saya akan begitu bahagia. Nyatanya, saya hanya ingin pulang ke rumah secepatnya untuk mengerjakan tugas malam itu. Effortless. Saya bangga pada diri saya sendiri karena saya bisa melepaskan dia tanpa harus berusaha. Saya berpasrah. Dia memang spesial–setidaknya dulu.
Di bawah ini saya akan menyelipkan tulisan saya tanpa editan gramatikal sama sekali. Selamat membaca! 🙂
Memori
(terinspirasi dari lagu “Never Forget You” by The Noisettes)
Aku duduk di ujung tebing ini, sendiri menatap langit. Senja selalu begini. Selalu sepi. Aku mungkin terlalu naïf, terlalu bodoh untuk terus mengenang segalanya. Ya, kau. Aku takkan pernah melupakanmu, terlebih karena sebagian dari jiwaku masih terbawa pergi olehmu.
Apa kabarmu, Kama? Masih ingatkah kau dengan aku? Aku, Sonita Paramita, masih ingatkah? Terlalu banyak memori yang semestinya terlupa, terlalu banyak senyum yang kiranya tersisa.
Aku ingat betapa seringnya aku memintamu kembali. Aku bahkan mengemis, bukan memohon. Aku bodoh. Sungguh bodoh.
Aku tahu kau takkan pernah kembali, tetapi … bukannya harapan selalu ada? Katamu, Tuhan begitu baik … Lalu, mengapa Ia memisahkan kita? Cinta … cinta … Lagi-lagi, aku terlalu bodoh untuk mencinta. Andai saja aku bisa berpikir rasional … Andai saja … Sayangnya, aku adalah seorang wanita yang terlalu berbeda untuk berpikir dengan logika.
~
“Dek, sudah dapat kiriman surat dari kakakmu, belum?” Pertanyaan ibu pada akhirnya membubarkan lamunanku.
Aku menggeleng. “Kak Satya sepertinya sedang sibuk-sibuknya bu di Capetown. Kenapa sih bu, dulu ibu mengijinkan kakak pergi ke Afrika Selatan? Toh di sana juga dia hidup sendiri, kasihan kan.”
Ibu tersenyum. “Kakakmu kan semakin dilarang semakin keras kepala, lagipula kan ini mimpi dia. Kamu tahu kan dia ingin sekali bisa pergi ke Afrika?”
“Oh iya. Oke deh, bu. Aku ke mau ke pantai dulu, ya.” Sepeda yang kuparkir di teras rumah pun langsung kusambar dan aku bergegas pergi ke pantai.
Beginilah rutinitasku. Menyendiri. Jika tidak duduk di tebing untuk memandangi langit, maka aku memilih untuk duduk di pinggir pantai sambil memandangi laut. Semuanya karena kau. Karena kau, Kama.
Seperti yang kau tahu, aku takkan mau melupakanmu. Mengapa kau tak juga kembali? Apakah kau membenciku?
Aku begitu naïf dan polos, sampai-sampai mengira bahwa kita akan terus bersama-sama.
Mengapa kau begitu cepat pergi?
Saat Kak Satya masih di sini, setidaknya aku masih memiliki teman untuk berbagi duka … Tetapi, kini aku sendiri. Dan aku tidak pernah tega membiarkan ibu melihatku sedih. Jadi, lebih baik kerinduanku ini kusimpan sendiri.
Aku rindu, Kama. Aku rindu. Apakah kau juga begitu?
Aku rindu akan aroma tubuhmu. Kau yang selalu bau matahari.
Aku rindu akan senyummu. Aku rindu akan senyum dari bibir mungilmu.
Aku rindu melihat rambut ikalmu. Aku rindu melihat kulit coklatmu.
Aku rindu menyentuh wajahmu. Aku rindu menggenggam tanganmu.
Apakah kau juga begitu?
Terlebih, aku rindu melihatmu di sampingku. Mendengarkan semua ceritaku, juga membiarkanku bersandar di bahumu.
Kama, apakah kau masih di situ?
Biarkanlah aku terus merindukanmu …
Biarkanlah aku mengenang terus memori ini.
~
“Dek, kok kamu pucat banget?”
Aku melihat kaca. Ibu benar, wajahku hari ini pucat sekali. “Nggak tahu juga ya, bu. Padahal aku ngerasa baik-baik saja.”
Ibu mendekat dan meletakkan tangannya di dahiku. “Badanmu agak panas loh, dek.”
“Masak sih, bu?”
Dan semuanya berubah menjadi gelap.
~
“Sonita!” Aku berbalik dan kau langsung memelukku.
Ya Kama, kau yang memelukku.
“Kama, ” bisikku pelan. “Kamu di sini.”
“Iya, Sonita. Aku nggak akan ke mana-mana.” Kau mengecup pelan puncak kepalaku, membiarkan kehangatan itu tetap di sana. Kehangatan di antara kita yang selama ini kurindukan.
“Apa kabar?” tanyaku lalu melepaskan diri dari pelukanmu.
“Seperti yang kamu lihat, rambutku masih ikal, dan kulitku juga masih coklat.” Kau tertawa pelan, lalu berjalan menjauh.
Awalnya aku ikut tertawa, tetapi kemudian, tawaku semakin menghilang bersamaan dengan lenyapnya kau di hadapanku. Kau begitu cepat hilang dari pandangan. Mau ke mana lagi?
“KAMA!!!” teriakku putus asa.
Tak ada balasan. Tak ada lagi tawa.
Aku terbangun. Sial.
“Kamu sudah sadar, dek? Kamu tadi pingsan, lho,” ujar ibu yang ternyata sudah menungguiku daritadi.
“Oh iya, bu? Aku sudah baikkan, kok,” jawabku sambil terus memikirkanmu.
Lebih baik aku tidak bermimpi sama sekali, Kama. Apalagi, memimpikanmu. Kau hanyalah ilusi dari masa laluku. Bagian dari memori yang terus mengendap bersama mimpi.
Pergi, pergi. Kau telah pergi.
Akankah kau kembali?
~
Akhirnya, kita bisa bertemu lagi.
Kau mungkin tak kan kembali, tetapi aku akan melepasmu pergi.
Kama, aku harus merelakanmu.
Dan kau selalu akan menjadi bagian dari memoriku.
Aku tak akan berhenti mencintai, mencintai kau yang selalu ada di sini. Yang akan selalu ada di hati.
Aku akan berhenti berpura-pura seakan kau akan kembali.
Kama, aku yakin kita akan bersama-sama lagi.
Tunggu aku.
Aku pun berjalan menjauh.
Berusaha mencari keheningan yang lebih dalam lagi.
Memandang langit yang kini tampak lebih cerah.
Cinta, cinta.
Cinta untuk Kama.
Cinta yang akan selalu ada.
Begitu juga memori ini.
Untukmu,
Kama yang telah pergi dan selamanya menjadi memori.
nb: saya kini berada di titik di mana saya menyadari bahwa tulisan ini begitu naif. Lucu. Hidup ini lucu! 🙂