FIB Bagi Gue

Hai! Nama gue Sefin dan gue adalah mahasiswi Sastra Inggris 2010.

Bagi diri gue sendiri, FIB bukan hanya sekadar fakultas yang memiliki singkatan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di Universitas Indonesia alias UI. FIB juga bukan cuma sebuah fakultas dengan sembilan gedung tua, banyak tempat nongkrong, serta tempat-tempat baru yang lagi dibangun dan direnovasi. FIB lebih dari itu semua, karena FIB UI adalah FIB Gue.

Walaupun gue baru saja menginjak tahun ketiga di FIB, sudah banyak banget kejadian yang gue alami selama di sini. Susah, senang, sedih, marah, kesal, dan sebagainya. Kalau ibarat emoticon di BB, semuanya sudah hampir gue gunakan sampe emoticon tanpa ekspresi kayak gini -> šŸ˜Ā Well, apapun yang terjadi, FIB UI tetaplah FIB Gue tercinta. FIB adalah tempat di mana gue tumbuh dan berkembangnya layaknya seorang bayi di masa golden age *ceileh.

Anyway, gue akan langsung berpindah ke topik utama, yaitu FIB Gue. Sejujurnya, gue sendiri bingung ketika awalnya mau menulis tentang FIB Gue, karena FIB sendiri memiliki multi-interpretation atau interpretasi yang berlipat jumlahnya bagi diri gue sendiri. Yang terpenting adalah gue selalu dan akan terus bangga menjadi seorang mahasiswi FIB UI.

FIB Gue adalah sebuah panggung seni dan eksplorasi diri. Gue bangga banget bisa belajar di fakultas yang telah melahirkan banyak seniman dan sastrawan Indonesia. Melihat banyak sekali teman-teman, junior, serta senior yang sudah mengembangkan talenta seninya dengan pesat selama di FIB, bagi gue adalah sebuah pengalaman yang sangat luar biasa. Banyak sekali bakat-bakat terpendam yang akhirnya muncul dan membuat banyak orang ternganga saat menyaksikannya. Banyak sekali hasil karya yang telah diproduksi dan diperbaharui. Begitu pula dengan diri gue sendiri, karena setelah gue menjadi seorang mahasiswi FIB, gue akhirnya bisa lebih berani untuk tampil bersama biola mungil gue satu-satunya. Teater, musik, tari, serta sastra telah menjadi bagian terpenting di FIB. Hal ini semakin menyadarkan gue bahwa sastra dan seni adalah dua bidang yang nggak akan pernah mati. Bila keduanya mati, maka perasaan seluruh manusia di muka bumi ini akan mati. Keduanya adalah sumber eksplorasi diri, juga sumber improvisasi diri.Ā 

FIB Gue bukanlah sekadar sebuah institusi pendidikan dengan ribuan mahasiswa berjaket kuning, FIB Gue lebih dari itu. FIB Gue adalah FIB yang dihuni oleh ribuan anak muda dengan jutaan mimpi sempurna. Gue seringkali mendengar komentar miring tentang anak FIB, tetapi dari semuanya itu, nggak ada yang terbukti sama sekali. Anak-anak FIB Gue bukanlah anak-anak muda yang menjalani kehidupannya seperti robot, melainkan anak-anak yang telah memilih jalan hidupnya masing-masing, lalu menjalankannya. Bisa dibilang, banyak banget drama anak-anak FIB yang nggak terduga sama sekali, but that is the real life. FIB Gue adalah tempat di mana ribuan kaum muda hidup dalam realita. Ini adalah FIB Gue.

Keluarga gue adalah FIB. FIB Gue adalah keluarga. Selama hampir lima semester gue di sini, gue seneng banget karena bisa ketemu banyak orang dari berbagai latar belakang dan kehidupan. Gue seneng banget karena punya orang-orang yang bisa dirangkul dan diajak berbagi cerita. Gue bisa ketemu kakak-kakak, teman-teman, juga adik-adik di fakultas ini. Banyak sekali pelajaran berharga yang telah gue peroleh dari mereka semua. Selain itu, gue juga belajar tentang arti persahabatan, solidaritas, toleransi, kekeluargaan, serta kebersamaan yang sebenarnya. Gue semakin percaya bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Di FIB, gue belajar banyak tentang bagaimana menjadi makhluk sosial yang menghormati dan menghargai makhluk sosial yang lain.

Kalau ada yang bertanya bagaimana gue menggambarkan sebuah dunia yang sesungguhnya, gue akan menjelaskan bahwa FIB Gue adalah miniatur dunia. Segala perbedaan yang ada di dalamnya telah berhasil menjadikan FIB menjadi satu. Perbedaan yang begitu indah dirangkai ke dalam sebuah institusi pendidikan. FIB bukan hanya sebuah tempat belajar formal, tetapi juga tempat belajar tentang kehidupan yang sebenarnya. Ada jutaan hal yang telah, bisa, dan akan gue pelajari selama gue di FIB. Gue sadar bahwa dalam hidup kita perlu belajar bagaimana caranya bertahan hidup atau survival, dan FIB Gue menyajikan itu dalam berbagai mediumā€”baik yang gue sadari maupun nggak. Hidup ini adalah perjuangan, bro!

Hmm… ternyata banyak sekali ya, arti FIB bagi gue? Masih adakah? Masih, tentu saja. Di luar ini semua, gue yakin masing-masing dari kita punya cerita yang berbeda tentang FIB, dan gue nggak sabar untuk mendengar semua cerita itu. Dan ini FIB Gue. Budaya Kami Budaya Juara. Gue bangga jadi anak FIB. Sampai jumpa!

 

Tulisan ini masuk ke majalah DPM, “Majas” dan menjadi juara kedua untuk sayembara menulis “FIB Gue” dari DPM FIB UI. Aku sangat berterima kasih pada DPM yang telah memilih tulisanku dan memberikan hadiah sebuah jersey bola. šŸ™‚

Ini adalah FIB buatku, kalau buat kamu? šŸ˜€

Tentara 5 Menit

Ada lagi satu cerita yang mau kubagi hari ini, yaitu tentang seorang bapak paruh baya yang berprofesi sebagai tentara dan memakai baju loreng-loreng khas pekerjaannya.

Tadi sore, waktu hujan cukup lebat dan aku telah duduk manis dalam sebuah bus Agra Mas menuju rumahku, ada seorang tentara paruh baya yang masuk ke dalam bus dan langsung mendapatkan tempat duduk. Sekitar lima menit kemudian, ada seorang wanita paruh baya atau ibu-ibu masuk ke dalam bus, dan spontan, bapak tentara langsung memberikan tempat duduknya kepada wanita tersebut, sehingga ia harus berdiri sepanjang perjalanan–kecuali, ia bisa mendapatkan satu tempat duduk lagi.

Ketika bus sudah sampai daerah Veteran, Bintaro, ia pun langsung mendapatkan tempat duduk tepat di sebelahku. Dan benar saja–entah ini kebetulan atau bukan, seorang ibu-ibu lain yang berkerudung masuk ke dalam bus. Lagi-lagi, bapak tentara memberikan tempat duduknya pada ibu-ibu yang baru masuk itu.

Aku begitu kagum, seorang bapak tentara yang tidak lagi muda dengan sukarela memberikan tempat duduknya untuk dua orang wanita seumurannya, meskipun ia tidak bisa lagi duduk dan harus capek berdiri sepanjang perjalanan.

Aku tidak akan pernah lupa pada bapak tentara yang dua kali hanya sempat duduk selama lima menit karena memberikan tempat duduknya pada dua orang wanita yang berbeda.

Wagimin dan Rohayati

Barusan saja aku menonton tayangan “Orang Pinggiran” di stasiun televisi Trans7. Jujur saja, seringkali aku beranggapan bahwa stasiun televisi gemar memperjualbelikan rasa iba dan kasihan demi meningkatkanĀ ratingĀ mereka dengan menayangkan kehidupan orang-orang yang kurang beruntung. Salah satunya adalah kisah tentang Wagimin dan Rohayati, sepasang suami istri yang buta.

Bapak Wagimin dan Ibu Rohayati memiliki dua orang anak, namun sudah lama anak mereka tidak pulang. Sepasang suami istri ini berprofesi sebagai penjual sapu hasil buatan mereka sendiri. Sehari-hari, mereka menjajakan sapu buatan tangan mereka untuk dijual keliling kampung. Bapak Wagimin tidak buta sejak lahir, sehingga Beliau cukup beruntung karena sempat memperoleh pendidikan sewaktu kecil, sementara istrinya–Ibu Rohayati, terlahir sebagai seorang tuna netra. Setiap malamnya, Bapak Wagimin menyempatkan diri untuk mengajari sang istri cara membaca dan menulis dengan huruf-huruf braille dengan bekal pendidikan yang diperolehnya saat kecil. Selain menjadi seorang penjual sapu, Bapak Wagimin terkadang membantu orang lain mengambil buah kelapa di pohon yang begitu tinggi dengan imbalan beberapa buah kelapa. Sewaktu kecil, ia begitu rajin memanjat pohon kelapa lantaran ingin membantu kedua orang tuanya mencari uang.

Untuk makan sehari-hari, sepiring nasi dengan lauk tumis kangkung menjadi santapan yang dianggap mewah bagi sepasang suami istri ini. Begitu aku melihat sayur kangkung itu sendiri, aku pun terhenyak, karena sesungguhnya aku tidak pernah benar-benar menyukai sayur kangkung. Bagi Bapak Wagimin dan Ibu Rohayati, sayur kangkung sangatlah lezat dan bergizi, ketimbang singkong yang hanya bisa mereka makan ketika mereka tidak memiliki cukup uang untuk membeli beras. Bapak Wagimin juga kerap menggarap tanah orang sendirian untuk ditanami singkong, dengan imbalan setengah dari hasil panen singkong tersebut.

Dari kisah ini, aku tidak ingin mengkritik stasiun televisi yang menjual rasa iba, melainkan ingin belajar sesuatu–bagaimana aku harus selalu bersyukur dengan keadaanku. Setidaknya, aku masih memiliki kedua mata untuk melihat. Setidaknya, aku tidak pernah kekurangan makan. Setidaknya, aku jauh lebih beruntung.

Halo dan Salam Kenal

Lucu. Aku tidak bisa mengingat nama adik kecil ini sama sekali. Tetapi yang jelas, aku tidak akan pernah melupakan momen di saat aku bertemu adik kecil yang lucu ini.

Kulitnya hitam manis. Bajunya sedikit kumal dan lusuh. Ya, ia tinggal di sebuah yayasan. Yayasan itu bernama Yayasan Senang Hati di mana sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang terlahir dengan begitu istimewa.

Aku memiliki kecenderungan untuk menghampiri anak-anak kecil yang terlihat manis dan menggemaskan, begitu pula saat aku bertemu adik ini. Kalau tidak salah namanya Arga. Kalau tidak salah.

Ketika aku pertama tiba di yayasan ini, senyum manis dan aksi diam Arga langsung membuatku penasaran. Aku pun spontan jongkok dan mengulurkan tangan untuk bisa menjabat tangannya sebagai tanda salam kenal. Dan tanpa disangka-sangka, bibirnya yang mungil malah mencium tanganku. Aku kaget sekaligus senang. Sebuah kecupan hangat dari Arga membuatku lagi-lagi berpikir. Seorang anak kecil yang sedikit kurang beruntung saja bisa berperilaku begitu manis, lalu mengapa aku tidak bisa?

Terima kasih ya, Dek, untuk ciuman Halo dan Salam Kenalnya. šŸ™‚

Kembali ke Perpisahan

Semakin banyak perjumpaan, semakin banyak pulalah perpisahan yang akan dan harus hadir. Ya, memang berat.

Aku tidak pernah menyukai berita duka, tidak pernah juga senang mengucapkan selamat tinggal. Lebih baik mengatakan “Sampai jumpa”, ketimbang harus mengucapkan “Selamat tinggal.” Mungkin bagi sebagian orang kedua frasa ini tidak ada bedanya. Keduanya sama-sama diucapkan ketika kita–atau aku, berpisah dengan orang yang kujumpai.

Aku benci mengatakan hal ini, tetapi belajar mengikhlaskan kepergian siapapun di muka bumi ini tidak pernah terasa mudah. Rasanya, lebih baik mengerjakan ujian dengan seribu soal daripada harus berpisah tanpa tahu kapan akan bersua kembali.

Tulisan ini kubuat untuk menghormati orang-orang yang telah datang dan pergi dalam hidupku, terutama untuk mereka yang sudah naik ke Surga. Halo, Kak Anggi, Ama, Mas Dekun, dan semuanya! šŸ™‚

Aku tahu, mungkin suatu hari nanti akan tiba giliranku untuk meninggalkan semua yang kupunya; untuk mengikhlaskan semua momen yang pernah kumiliki selama aku hidup. Tidak, aku tidak mau mati. Tidak, aku tidak mau bunuh diri. Aku hanya bersiap-siap untuk segala kemungkinan yang bisa terjadi. Tidak ada salahnya, kan? šŸ™‚

Yang jelas, aku sangat beruntung dan bersyukur atas semua perjumpaan dan perpisahan yang pernah terjadi dalam hidupku. Semuanya telah berhasil menciptakan berbagai macam kesan dan pesan. Semuanya telah menjadi begitu berarti. Semuanya telah tersimpan rapi dalam memori di otakku… dan semoga saja aku tidak harus melupakan itu semua hingga ku mati nanti. Semoga. Tapi, sekali lagi, tidak ada yang akan pernah tahu, kan?

Pada akhirnya, kita semuanyalah yang akan memutuskan. Kita semualah yang harus mengucapkan salam perpisahan. Semua perjumpaan harus kembali ke dalam satu perpisahan.

Melepas yang Harus Dilepas

Ya, melepas yang harus dilepas. Sulitkah? Tentu. Butuh waktu yang cukup lama bagiku untuk melepaskan hal ini, ya hal ini. Bertahun-tahun aku terjebak dalam imajinasiku sendiri, bertahun-tahun aku terjebak dalam bayangan kesempurnaan. Hasilnya? Nihil.

Melepaskan sama sekali berbeda dengan kehilangan karena melepaskan sesuatu berarti sesuatu itu yang harus menunggu kita untuk melepaskannya, sementara kehilangan…kita yang harus rela ditinggalkan oleh sesuatu yang amat dekat dengan kita, atau yang amat kita cintai. Aku minta maaf untuk panggilan ‘kita’ yang seakan-akan berniat untuk mendikte kalian, meski aku tidak berniat mendikte kalian sama sekali.

Yang jelas, kini ada perasaan bahagia sekaligus lega yang menghampiriku. Aku bahagia pada hal yang telah berhasil kulepaskan setelah bertahun-tahun lamanya. Ini tidak mudah sama sekali, tetapi aku kali ini sangat yakin bahwa semua ini adalah yang terbaik.

Aku bangga pada diriku sendiri karena aku telah berhasil melepaskan sesuatu yang seharusnya sudah kulepaskan sejak lama. Aku bangga pada diriku dan kesiapanku untuk menyambut apapun yang akan terjadi di masa depan.

Sepiring Kwetiauw di Papua

Pagi tadi, Minggu, 16 September 2012, aku mengikuti Misa Kudus di Paroki St. Laurensius, Alam Sutra. Misa pagi tadi terasa berbeda karena kami semua diiringi koor dari Papua juga ditemani seorang pastor dari Papua yang menemani Romo Nono. Sejujurnya, aku bukan seorang pendengar yang baik selama misa di gereja, tapi pagi tadi aku mendengarkan khotbah dengan cukup baik, bahkan merenungkannya. Aku tidak ingat betul siapa nama pastor yang melayani di Papua itu, tapi yang jelas, ceritanya tentang sepiring kwetiauw di Papua membuatku tertegun cukup lama pagi tadi.

Suatu hari, pastorĀ ngidam seporsi kwetiauw yang jarang sekali dijual di Papua–terlebih karena Beliau melayani di Papua bagian pedalaman–daerah hutan-hutan. Pada akhirnya, Beliau pun memutuskan untuk pergi ke kota yang jaraknya 180 km dengan naik motor untuk pergi makan kwetiauw seharga 30 ribu rupiah/porsi. Ketika Beliau tengah menyantap kwetiauwnya, tiba-tiba ia terkejut dengan kehadiran seorang anak kecil yang tengah mengantri untuk membeli kwetiauw dan menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan pada si penjual kwetiauw.

Melihat anak kecil tersebut, si penjual kwetiauw terkejut dan bertanya, “Dari mana kamu, Dik?”

“Saya datang dari jauh. Saya datang dari hutan.” Mendengar hal ini, baik si penjual kwetiauw maupun Pastor sontak terkejut. Hutan yang dimaksud adalah hutan tempat Pastor bekerja yang jaraknya 180 km. Pastor pergi ke kota menggunakan sepeda motor, sedangkan si anak kecil berjalan kaki hanya untuk menyantap sepiring kwetiauw.

Tanpa pikir panjang, penjual kwetiauw langsung memasak sepiring kwetiauw untuk anak kecil itu dan menerima selembar uang sepuluh ribuannya. Di tengah antrian, seorang ibu-ibu yang nampak tidak sabar langsung menyeletuk, “Mas, kalau dia saja bisa membeli seporsi kwetiauw dengan sepuluh ribu, berarti porsi kita seharusnya ditambah.”

Mendengar celetukan ibu-ibu tersebut, si penjual kwetiauw hanya menjawab, “Kalau ibu mau kwetiauwnya seporsi hanya sepuluh ribu, ibu harus jalan 180 km dulu, ya.”

Ibu-ibu itu pun langsung terdiam mendengar perkataan si penjual kwetiauw.

Cerita ini mungkin tidak persis seperti cerita yang dikhotbahkan Pastor tadi pagi, tapi aku tetap ingin membagikan cerita ini. Sungguh disayangkan, negeri Papua yang kaya ternyata sangatlah miskin. Memang benar adanya, bahagia itu sederhana.Ā Bahagia itu sesederhana membeli sepiring kwetiauw dengan selembar uang sepuluh ribuan dan berjalan kaki 180 km jauhnya hanya untuk menyantap kwetiauw tersebut.

Terima kasih banyak untuk Pastor yang telah membagikan cerita ini. Semoga misi pelayanannya bisa semakin maju.

Mengapa Marah?

Kini aku bertanya, mengapa marah? Bertahun-tahun manusia memerangi rasa marah, berusaha meredam amarah yang seringkali menyesakkan dada. Rasa sakit hati, benci, marah, dendam, kesal, hingga muak menjadi alasan mengapa manusia sulit sekali mengendalikan amarahnya.

Begitu juga dengan aku, ingin sekali aku menyalahkan masalah genetik sebagai alasan mengapa aku mudah sekali marah. Ingin sekali aku marah-marah setiap saat. Begitu banyak kebencian, begitu banyak dengki. Mungkin aku terdengar berlebihan, tapi ingatkan aku kalau memang hanya aku yang bermasalah dengan pengendalian emosi. Ingatkan aku, beritahu aku, jika ada di antara kalian yang tidak pernah marah sekalipun.

Meluapkan emosi dengan marah-marah pada dasarnya tidak baik bagi kesehatan jantung, juga pada hati kita sendiri. Tapi ada juga yang bilang bahwa memendam sesuatu–termasuk amarah, justru tidak baik sama sekali. Intinya? Memendam sesuatu dan marah-marah sama-sama tidak baik. Dua-duanya sama-sama bikin diriku sendiri sengsara, begitu menurutku. Dengan marah-marah, aku membuang energi banyak sekali. Dengan memendam sesuatu, berarti aku tidak bisa belajar memaafkan siapapun–termasuk diriku sendiri.

“Lalu, mengapa marah?”Ā Pertanyaan ini kerap kali muncul di benakku, muncul ketika aku menyesali saat-saat di mana aku marah. Membuat aku menyesal karena telah mengumpat pada banyak hal, marah pada keadaan yang tidak bisa dirubah sama sekali. Di saat aku marah, aku seringkali menyakiti diriku sendiri. Aku menyimpan amarah setelah sekian lama dan kemudian meledakannya begitu saja. Bodoh? Ya, memang. Aku menyadari bahwa ada saat-saat di mana aku sering bertindak dan berpikir dengan begitu bodoh. Tapi dengan berperilaku bodoh seperti itu, aku belajar bagaimana caranya untuk menjadi lebih pintar. Sedikit lebih pintar. Ya, sedikit saja.

Dan seiring dengan berjalannya waktu, aku semakin sadar bahwa meluapkan emosi dengan ekspresi muka super galak, mengumpat, menyakiti perasaan orang lain dengan kata-kataku–semua itu tidak ada gunanya sama sekali. Semua itu hanya membuatku merasa begitu bodoh karena tidak bisa berpikir dua kali sebelum marah. Mungkin ayat dalam Injil tentang mengasihi musuh seperti aku mengasihi diri sendiri ada benarnya juga. Sulit? Ah, tentu saja. Di dunia ini, tidak ada satu pun yang benar-benar mudah. Setidaknya, begitu menurutku. Jadi, tugasku sekarang adalah belajar untuk memaafkan hal-hal yang membuatku marah. Belajar untuk memaafkan orang-orang yang membuatku marah. Naif memang, tapi beginilah kenyataannya. Sekali lagi, menurutku.

Untuk itu, sekarang aku telah tiba pada suatu kesimpulan bahwa ada banyak hal yang bisa kulakukan untuk bisa menyalurkan emosiku tanpa harus memendamnya. Salah satunya adalah dengan menulis. Sejujurnya, menulis tulisan ini agak sedikit berat bagiku karena begitu sulit bagiku untuk memahami setiap amarah dari masalah. Namun aku sadar, menjalaninya adalah hal termudah untuk bisa memahami. Pelan-pelan, tentu saja. Kini aku semakin percaya bahwaĀ menulis itu menyembuhkan. Kini aku percaya bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja.

Bahkan, Om Bob Marley juga sering berkata,Ā “Don’t worry about a thing, ‘cuz every little thing is gonna be alright.”

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=8mNGvvOnV18&feature=fvwrel]

Sekali lagi,Ā mengapa marah?

Bali, 15 Agustus 2012 – Hari Pertama

Aku masih ingat sekali penerbangan yang kulewati pada tanggal 15 Agustus 2012 yang lalu. Hari itu adalah hari yang cukup panjang dan melelahkan, apalagi dua hari sebelumnya aku tengah menjadi panitia PSA FIB UI 2012 dan harus terjaga seharian penuh sejak pukul tiga pagi. Ah, tapi ini tidak penting. Yang penting adalah awal perjalananku di Bali, yaitu pada hari Rabu, 15 Agustus 2012.

Pada Rabu siang itu aku terbang dengan penerbangan pukul 12.30 dan aku membawa koper terbesar seberat 16 kilo atas saran Mama dan adikku–Joan. Seperti biasa, aku selaluĀ packing pada beberapa jam sebelum keberangkatan dengan santainya, sementara orang-orang di sekitarku malah kebakaran jenggot karena takut aku ketinggalan pesawat. Intinya, aku tidak terlambat dan tiba tepat waktu di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali. Malah, aku, Mama, dan Joan sempat makan siang dulu di Restoran Bakmi GM.

Penerbangan itu adalah penerbanganku sendirian untuk yang kesekian kalinya. Banyak orang mungkin takut tubuh kecilku akan hilang ditelan keramaian atau bahkan terselip di kabin pesawat–tapi tenang, aku selalu berhasil tiba di tempat tujuanku dengan selamat.

Musim libur Lebaran sekaligus Hari Kemerdekaan Indonesia membuat hari tibanya aku di Denpasar terasa lain. Bendera merah-putih berkibar di mana-mana dan banyak sekali turis baik lokal maupun luar negeri yang berlalu lalang di bandara. Berusaha memerangi rasa penatku akan keramaian (seperti biasa), aku pun berhasil berjalan menuju terminal kedatangan dalam negeri untuk bertemu Ryan Feinstein dan teman-teman baru (baca: wanita-wanita inspirasional dari belahan dunia lain) yang juga tiba hari itu. Penerbanganku tentu berbeda dengan mereka karena penerbanganku hanya berlangsung selama 1 jam 20 menit, sementara kebanyakan dari mereka harus terbang lebih dari 20 jam agar bisa tiba di Denpasar, Bali, Indonesia. Wajah-wajah mereka terlihat lelah, namun tetap terlihat sangat bersemangat. Inilah energi yang kusukai dari mereka, energi positif pembawa semangat. Mereka yang tiba bersamaku di bandara menuju Ubud adalah Barbara Jefferson, Sonja Basha, Melanie Leanne, dan Anna Wagner. Mereka berempat adalah sahabat pertamaku di YWLT 2012.

Setelah penerbangan yang cukup panjang, kami pun mengikuti perjalanan menuju Ubud. Euforia tentang negara Asia yang begitu berbeda memenuhi dada keempat sahabatku. Mereka begitu terkejut melihat banyaknya pengendara motor wanita yang terlihat keren di jalanan. Ramainya jalanan dengan mobil dan motor yang awut-awutan menjadi keindahan tersendiri bagi mereka. Juga pemandangan sebuah pertandingan sepak bola di tanah lapang terbuka dengan puluhan penonton yang mengelilingi.

Lalu kami akhirnya tiba di Madra’s Homestay yang dihuni oleh beberapa anjing yang awalnya cukup membuatku takut.Ā HomestayĀ bergaya rumah Bali ini dimiliki oleh Bapak Madra dan istrinya. Di sini ada banyak kamar yang disewakan untukĀ homestay para turis yang datang ke Ubud. Malam itu pulalah aku berkenalan dengan teman sekamarku yang berasal dari Brazil–Kelly Christina da Silva. Malam pertamaku di Ubud ditutup denganĀ dinnerĀ yang begitu lezat, yaitu seporsi Spaghetti Aglio Olio dari restoran Pizza Bagus, Ubud.

Sangat menyenangkan!

Bali dalam 16 Hari

Hai, ini aku. šŸ™‚

Sekali lagi, ini aku yang masih mencintai bunga matahari. Berbeda dengan tulisan-tulisan yang biasanya, kali ini aku akan bercerita tentang liburan sekaligus training yang kujalani di Bali selama 16 hari. Terima kasih banyak untuk Fadilla Dwianti Putri atas permintaannya sehingga aku memberanikan diri untuk bercerita tentang 16 hariku di Bali.

Begitu banyak kenangan yang tidak ingin kulupakan, begitu banyak pelajaran yang kudapatkan selama di Bali beberapa waktu lalu. Sekadar info, aku di sana untuk mengikutiĀ Young Women’s Leadership Training 2012 yang diadakan oleh Bali Institute juga dua fasilitator asal Amerika Serikat yang bernama Barbara Jefferson dan Mary Candice Shindler. Oh iya, Sonja Basha juga turut memberikan beberapaĀ workshop selamaĀ training. DiĀ trainingĀ tersebut, kami berempat belas–termasuk Barbara, Mary, dan Sonja melewati empat belas hariĀ trainingĀ bersama-sama. Kami berbagi banyak cerita, tawa, hingga air mata. Semuanya terasa begitu menyenangkan dan tidak terlupakan. Kami menghabiskan banyak malam di Ubud, tapi juga sempat bermalam di daerah Singaraja–tepatnya di pinggir Pantai Lovina.

Sebelumnya aku ingin berterima kasih banyak pada Ryan Feinstein dari Bali Institute yang telah memilihku sebagai penerima beasiswaĀ training senilai 1,750 USD. Aku tidak tahu bagaimana jadinya bila aku harus membayar biaya keseluruhanĀ training sendirian. Aku sangat beruntung dan bersyukur. 16 hari di Bali benar-benar tidak terlupakan sama sekali.

Menjadi bagian dari YWLT 2012 adalah kebanggaan terbesar bagiku. Aku bangga menjadi seorang perempuan. Aku bangga menjadi seorang wanita.

NB. Aku akan mem-post beberapa suntingan tentang YWLT 2012. Terima kasih.

Selamat berakhir pekan!