Aku, Perempuan, dan Pendidikan

women and education

Selamat sore! šŸ™‚ Senja akan tibaĀ sebentar lagi dan aku di sini ingin menuliskan salah satu opiniku. Opini ini sempat aku bagi dengan teman-teman di Twitter beberapa bulan yang lalu pada tahun 2012.

Sekarang aku tengah duduk di semester 6 bangku S1. Lebih detilnya, aku sekarang sedang belajar di Program Studi Inggris, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI). Setelah lulus nanti, aku ingin bekerja dan menabung untuk kuliah S2. Aku ingin menekuni Gender Studies, Feminism, atau Cultural Studies. Sampai sekarang, aku sih belum memutuskan betul apa yang ingin aku pelajari di jenjang S2 nanti.

Dan sebagai seorang mahasiswi, aku menjalani kehidupan normal seperti anak muda lainnya. Aku bermain, aku membaca, aku jalan-jalan, dan aku juga belajar untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang mahasiswi.

Bila ada yang berpendapat bahwa kuliah itu melelahkan… Sejujurnya, aku setuju sekali. Belajar itu melelahkan. Apalagi, kalau aku belajar karena paksaan. Baik itu paksaan dari pihak luar atau paksaan dari diriku sendiri yang sudah menolak mentah-mentah materi pelajaran tersebut atas dasar ketidaksukaan.

Lalu, mengapa aku terus kuliah? Mengapa aku terus tega membiarkan otakku kelelahan dan mual-mual karena beberapa pelajaran yang sudah tidak ingin aku pelajari?

Jawabannya simpel saja, yaitu karena aku sadar akan pentingnya pendidikan bagi seorang perempuan. Ya, ya. Sebagai seorang perempuan, aku sadar bahwa pendidikan adalah tabungan terbaik untuk masa depan–selain uang, tentunya.

Di negara dengan budaya patriarki yang cukup kental seperti Indonesia, bagiku pendidikan sangatlah penting. Terutama, bila kita memutuskan untuk menikah. Setelah menikah, perempuan bisa memilih–apakah dia ingin menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga yangĀ full time atau dia ingin menjadi seorang istri dan wanita karir. Meskipun pada kenyataannya, kebanyakan perempuan Indonesia masih dituntut untuk menjadi istri dan ibu rumah tangga yang full time.Ā Kalau aku sendiri, aku ingin menjadi seorang istri, ibu rumah tangga, danĀ full time writerĀ yang bekerja di rumah, sehingga bisa tetap menyalurkan kecintaanku pada dunia menulis. Walaupun aku sendiri juga mengerti, bahwa keinginanku ini bisa berubah-ubah setiap waktu.

Negara patriarki, pernikahan, pendidikan, dan perempuan? Apa sih, hubungan dari keempat elemen ini? Di negara patriarki yang masih belum begitu memposisikan perempuan setara dengan laki-laki, aku sendiri berpendapat bahwa pendidikan itu sangatlah penting. Pendidikan ini sifatnya bisa formal maupun non formal. Yang jelas, pendidikan yang memadai, menurutku, adalah pendidikan sekaligus keterampilan yang bisa menjadi bekal perempuan untuk menafkahi dirinya sendiri. Misalnya, aku yang tengah mengenyam pendidikan di ProDi Inggris. Di sini aku paham betul bagaimana bekal pendidikan yang tengah aku jalani mulai bisa memberikan penghasilan kecil-kecilan, yakni dengan bekerja menjadi free lance translator.Ā Lalu ke depannya, saat aku telah menjadi seorang Sarjana Humaniora, aku bisa mulai bekerja dan menabung untuk masa depanku. Dan bila suatu saat nanti aku memutuskan untuk menikah, sangatlah tidak tertutup kemungkinannya bahwa aku mungkin akan berhenti bekerja dan menjadi seorang istri dan ibu rumah tanggaĀ full time. Sebagai gantinya, mungkin aku akan memilih pekerjaan yang bisa kutekuni di rumah, seperti menjadi seorang penulis atau jurnalis. Selain itu, aku juga akan memberikan pendidikan non formal untuk anak-anakku kelak dari apa yang telah aku pelajari di bangku sekolah dan kuliah dulu. Inilah salah satu pendapatku mengapa pendidikan itu penting bagi perempuan.

Aku sendiri, tidak percaya pada anggapan bahwa “Hidup seorang perempuan yang menikah dengan seorang laki-laki kaya akan damai sentosa dan bahagia selama-lamanya.” Sebaliknya, aku beranggapan bahwa sebagai perempuan, aku harus selalu siap sedia dengan segala konsekuensinya. Menikah dengan seorang laki-laki kaya tidak menjamin hidup seorang perempuan akan bahagia dan bebas dari penderitaan. Semua ini pasti ada konsekuensinya.Ā Sebagai seorang perempuan, aku merasa harus bersiap-siap dan tidak boleh bergantung pada laki-laki.Ā Jika seorang perempuan menikah menjadi seorang istri dan ibu rumah tanggaĀ full time, kemudianĀ (amit-amit) bercerai dengan suaminya, di sinilah aku berpendapat bahwa pendidikan atau keterampilan memiliki peranan yang penting. Setidaknya, si perempuan yang telah mengenyam pendidikan ini telah memiliki bekal untuk menafkahi dirinya sendiri setelah bercerai dari suaminya. Di sini aku ingin menekankan bahwa menjadi seorang perempuan yang mandiri bukan berarti tidak membutuhkan laki-laki, tetapi harus bisa berdiri sendiri sebagai seorang perempuan tanpa ketergantungan pada laki-laki. Jangan karena ketidaksiapan, seorang perempuan yang bercerai dari suaminya lalu menjadi terlantar.

Sebagai tambahan informasi, sekarang perempuan bisa sedikit berlega hati karena sekarang Perjanjian Pra Nikah sudah makin marak dilakukan di Indonesia. Meskipun tidak banyak pasangan menikah di Indonesia melakukannya, Perjanjian Pra Nikah ini sangat penting bagi perempuan yang akan menikah. Awalnya, aku tidak begitu familier dengan istilah “Perjanjian Pra Nikah” ini, akan tetapi, informasi dari Mbak Clara Ng akhirnya membuatku tahu bahwa selain pendidikan, Perjanjian Pra Nikah ini juga penting untuk perempuan.

Untuk lebih jelasnya tentang Perjanjian Pra Nikah, silahkan baca artikel dari Wolipop, “Perjanjian Pra Nikah Penting untuk Wanita, Yuk Mengenal Lebih Jauh” di

http://wolipop.detik.com/read/2013/03/08/073621/2189154/854/perjanjian-pranikah-penting-untuk-wanita-yuk-mengenal-lebih-jauh

šŸ™‚

Well,Ā ini semua adalah pendapatku tentang pentingnya pendidikan untuk seorang perempuan. Setiap orang tentu boleh memiliki pendapatnya masing-masing. Di sini aku tidak ingin mendikte, melainkan hanya ingin berbagi opini tentang perempuan dan pendidikan. Aku sangat terbuka akan tanggapan dan diskusi. Terima kasih karena sudah membaca!

Sisa Hujan

Bersenandung sore menikmati sisa-sisa hujan di kaca jendela
Berdansa bersama tetes-tetes hujan yang masih ada di dedaunan

Tertawa menatap langit sembari berharap tidak segera menjadi gila
Hingga akhirnya memandangi tanah basah bersama cacing-cacing yang menggeliat

Kembang dan kumbang sama-sama basah kuyup
Semut masih mengantre sembako di rumah yang entah milik siapa

Semuanya sibuk mencari
Tiap-tiap dari mereka begitu senang menyibukkan diri

Sementara aku sebentar lagi akan terlelap
Entah sampai kapan

Apa tidak usah bangun lagi?

Bersama Adeline

IMG_0058

Pernahkah kamu menghitung jumlah sahabat yang kamu miliki? Pernahkah kamu merasa kesepian dan menyadari bahwa tidak ada seorangpun yang benar-benar bisa kamu ajak berbagi cerita?

Aku? Sering.

Kenyataannya, aku sering kali cemburu pada orang lain yang memiliki banyak sahabat baik; yang telah menjalin persahabatan selama bertahun-tahun; yang tidak pernah putus komunikasi sama sekali dengan para sahabat-sahabatnya.

Aku sendiri mengenal diriku sebagai seseorang yang cukup mudah bergaul–mudah akrab dengan orang-orang baru, mudah beradaptasi dengan lingkungan baru…..tapi aku seringkali menjauh dengan orang-orang yang telah akrab denganku. As simple as that.Ā 

Sampai usiaku delapan

belas tahun, aku tidak pernah benar-benar yakin bahwa aku sungguh memiliki seorang sahabat yang bisa diajak berbagi segalanya. Sahabat pertamakuĀ adalah adikku sendiri–Joan. Joan adalah sahabat yang paling mengerti aku, apalagi karena kami selalu berbagi kamar sejak kecil.

Lalu, siapakah sahabat-sahabatku kini?

Salah satunya adalah Adeline Prayoga atau yang biasa kupanggil Eline.

Pada mulanya, Eline bukanlah sahabatku melainkan sahabat adikku–Joan. Sosok Eline selalu membuatku tersenyum, tertawa, sekaligus membuatku terinspirasi. Banyak sekali hal dalam dirinya yang tidak pernah berhenti membuatku kagum. Kenyamanan yang diberikan oleh dirinya membuatku mengerti bahwa seorang sahabat memang benar-benar ada.

Ia–Eline, selalu bisa bicaraĀ to the point.Ā Kata-katanya kadang bisa sangat tajam, tapi selalu berhasil membuka mata dan pikiran.

Eline selalu tahu apa yang dia mau. Eline selalu tahu apa yang harus dilakukannya. Waktu di SMA-nya dulu, ia adalah seorang murid teladan. Badannya yang kecil mungil tidak pernah menghalanginya mengejar segala mimpinya yang besar. Ia sangat jagoĀ diving,Ā ia sangat cinta laut. Sekarang ia tengah mengenyam pendidikanĀ di Hawaii Pacific University dengan program beasiswa dan tekadnya yang besar selalu berhasil mengantarkannya ke hal-hal yang ia inginkan.

Eline memiliki banyak teman. Ia adalah sosok seorang gadis yang supel.

Ia menyukai tantangan dan sangat pemberani. Ia seorang pekerja keras yang jarang mengeluh.

Eline sangat suportif dan tidak pernah berhenti memberikan dukungan. Ia adalah salah satu orang yang membuatku yakin bahwa aku akan bisa melanjutkan studi Masterku di Amerika Serikat beberapa tahun lagi. Ia adalah salah satu alasan mengapa aku begitu mencintai laut dan ingin mengeksplor segala isinya. Aku ingin bisa menyelam di laut-laut yang indah bersama Eline di waktu yang akan datang. šŸ™‚

Hari Minggu ini, 13 Januari 2013, Eline akan kembali ke Hawaii untuk melanjutkan studinya sekaligus bekerja paruh waktu. Dengan beberapa kali pertemuan singkat selama liburan ini, aku telah belajar banyak hal. Aku menjadi lebih bersemangat dalam mengejar impian-impianku.

Desember tahun ini Eline akan lulus kuliah dan ia harusĀ tinggal dan bekerja selama kurang lebih setahun di AS. Hal ini sedikit banyak membuatku sedih, selama hampir dua tahun aku tidak akan bertemu dengan Eline–kecuali aku bisa mengunjunginya di sana.

Bersama Adeline, aku telah belajar banyak hal. Bersamanya, aku telah mengerti seperti apa sosok seorang sahabat yang sesungguhnya.

Thanks, Line. Please take a good care of yourself no matter what happens. šŸ™‚

Thanks for being such a lovely little sister from different parents :p

 

FIB Bagi Gue

Hai! Nama gue Sefin dan gue adalah mahasiswi Sastra Inggris 2010.

Bagi diri gue sendiri, FIB bukan hanya sekadar fakultas yang memiliki singkatan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di Universitas Indonesia alias UI. FIB juga bukan cuma sebuah fakultas dengan sembilan gedung tua, banyak tempat nongkrong, serta tempat-tempat baru yang lagi dibangun dan direnovasi. FIB lebih dari itu semua, karena FIB UI adalah FIB Gue.

Walaupun gue baru saja menginjak tahun ketiga di FIB, sudah banyak banget kejadian yang gue alami selama di sini. Susah, senang, sedih, marah, kesal, dan sebagainya. Kalau ibarat emoticon di BB, semuanya sudah hampir gue gunakan sampe emoticon tanpa ekspresi kayak gini -> 😐 Well, apapun yang terjadi, FIB UI tetaplah FIB Gue tercinta. FIB adalah tempat di mana gue tumbuh dan berkembangnya layaknya seorang bayi di masa golden age *ceileh.

Anyway, gue akan langsung berpindah ke topik utama, yaitu FIB Gue. Sejujurnya, gue sendiri bingung ketika awalnya mau menulis tentang FIB Gue, karena FIB sendiri memiliki multi-interpretation atau interpretasi yang berlipat jumlahnya bagi diri gue sendiri. Yang terpenting adalah gue selalu dan akan terus bangga menjadi seorang mahasiswi FIB UI.

FIB Gue adalah sebuah panggung seni dan eksplorasi diri. Gue bangga banget bisa belajar di fakultas yang telah melahirkan banyak seniman dan sastrawan Indonesia. Melihat banyak sekali teman-teman, junior, serta senior yang sudah mengembangkan talenta seninya dengan pesat selama di FIB, bagi gue adalah sebuah pengalaman yang sangat luar biasa. Banyak sekali bakat-bakat terpendam yang akhirnya muncul dan membuat banyak orang ternganga saat menyaksikannya. Banyak sekali hasil karya yang telah diproduksi dan diperbaharui. Begitu pula dengan diri gue sendiri, karena setelah gue menjadi seorang mahasiswi FIB, gue akhirnya bisa lebih berani untuk tampil bersama biola mungil gue satu-satunya. Teater, musik, tari, serta sastra telah menjadi bagian terpenting di FIB. Hal ini semakin menyadarkan gue bahwa sastra dan seni adalah dua bidang yang nggak akan pernah mati. Bila keduanya mati, maka perasaan seluruh manusia di muka bumi ini akan mati. Keduanya adalah sumber eksplorasi diri, juga sumber improvisasi diri.Ā 

FIB Gue bukanlah sekadar sebuah institusi pendidikan dengan ribuan mahasiswa berjaket kuning, FIB Gue lebih dari itu. FIB Gue adalah FIB yang dihuni oleh ribuan anak muda dengan jutaan mimpi sempurna. Gue seringkali mendengar komentar miring tentang anak FIB, tetapi dari semuanya itu, nggak ada yang terbukti sama sekali. Anak-anak FIB Gue bukanlah anak-anak muda yang menjalani kehidupannya seperti robot, melainkan anak-anak yang telah memilih jalan hidupnya masing-masing, lalu menjalankannya. Bisa dibilang, banyak banget drama anak-anak FIB yang nggak terduga sama sekali, but that is the real life. FIB Gue adalah tempat di mana ribuan kaum muda hidup dalam realita. Ini adalah FIB Gue.

Keluarga gue adalah FIB. FIB Gue adalah keluarga. Selama hampir lima semester gue di sini, gue seneng banget karena bisa ketemu banyak orang dari berbagai latar belakang dan kehidupan. Gue seneng banget karena punya orang-orang yang bisa dirangkul dan diajak berbagi cerita. Gue bisa ketemu kakak-kakak, teman-teman, juga adik-adik di fakultas ini. Banyak sekali pelajaran berharga yang telah gue peroleh dari mereka semua. Selain itu, gue juga belajar tentang arti persahabatan, solidaritas, toleransi, kekeluargaan, serta kebersamaan yang sebenarnya. Gue semakin percaya bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Di FIB, gue belajar banyak tentang bagaimana menjadi makhluk sosial yang menghormati dan menghargai makhluk sosial yang lain.

Kalau ada yang bertanya bagaimana gue menggambarkan sebuah dunia yang sesungguhnya, gue akan menjelaskan bahwa FIB Gue adalah miniatur dunia. Segala perbedaan yang ada di dalamnya telah berhasil menjadikan FIB menjadi satu. Perbedaan yang begitu indah dirangkai ke dalam sebuah institusi pendidikan. FIB bukan hanya sebuah tempat belajar formal, tetapi juga tempat belajar tentang kehidupan yang sebenarnya. Ada jutaan hal yang telah, bisa, dan akan gue pelajari selama gue di FIB. Gue sadar bahwa dalam hidup kita perlu belajar bagaimana caranya bertahan hidup atau survival, dan FIB Gue menyajikan itu dalam berbagai medium—baik yang gue sadari maupun nggak. Hidup ini adalah perjuangan, bro!

Hmm… ternyata banyak sekali ya, arti FIB bagi gue? Masih adakah? Masih, tentu saja. Di luar ini semua, gue yakin masing-masing dari kita punya cerita yang berbeda tentang FIB, dan gue nggak sabar untuk mendengar semua cerita itu. Dan ini FIB Gue. Budaya Kami Budaya Juara. Gue bangga jadi anak FIB. Sampai jumpa!

 

Tulisan ini masuk ke majalah DPM, “Majas” dan menjadi juara kedua untuk sayembara menulis “FIB Gue” dari DPM FIB UI. Aku sangat berterima kasih pada DPM yang telah memilih tulisanku dan memberikan hadiah sebuah jersey bola. šŸ™‚

Ini adalah FIB buatku, kalau buat kamu? šŸ˜€

Tentara 5 Menit

Ada lagi satu cerita yang mau kubagi hari ini, yaitu tentang seorang bapak paruh baya yang berprofesi sebagai tentara dan memakai baju loreng-loreng khas pekerjaannya.

Tadi sore, waktu hujan cukup lebat dan aku telah duduk manis dalam sebuah bus Agra Mas menuju rumahku, ada seorang tentara paruh baya yang masuk ke dalam bus dan langsung mendapatkan tempat duduk. Sekitar lima menit kemudian, ada seorang wanita paruh baya atau ibu-ibu masuk ke dalam bus, dan spontan, bapak tentara langsung memberikan tempat duduknya kepada wanita tersebut, sehingga ia harus berdiri sepanjang perjalanan–kecuali, ia bisa mendapatkan satu tempat duduk lagi.

Ketika bus sudah sampai daerah Veteran, Bintaro, ia pun langsung mendapatkan tempat duduk tepat di sebelahku. Dan benar saja–entah ini kebetulan atau bukan, seorang ibu-ibu lain yang berkerudung masuk ke dalam bus. Lagi-lagi, bapak tentara memberikan tempat duduknya pada ibu-ibu yang baru masuk itu.

Aku begitu kagum, seorang bapak tentara yang tidak lagi muda dengan sukarela memberikan tempat duduknya untuk dua orang wanita seumurannya, meskipun ia tidak bisa lagi duduk dan harus capek berdiri sepanjang perjalanan.

Aku tidak akan pernah lupa pada bapak tentara yang dua kali hanya sempat duduk selama lima menit karena memberikan tempat duduknya pada dua orang wanita yang berbeda.

Wagimin dan Rohayati

Barusan saja aku menonton tayangan “Orang Pinggiran” di stasiun televisi Trans7. Jujur saja, seringkali aku beranggapan bahwa stasiun televisi gemar memperjualbelikan rasa iba dan kasihan demi meningkatkanĀ ratingĀ mereka dengan menayangkan kehidupan orang-orang yang kurang beruntung. Salah satunya adalah kisah tentang Wagimin dan Rohayati, sepasang suami istri yang buta.

Bapak Wagimin dan Ibu Rohayati memiliki dua orang anak, namun sudah lama anak mereka tidak pulang. Sepasang suami istri ini berprofesi sebagai penjual sapu hasil buatan mereka sendiri. Sehari-hari, mereka menjajakan sapu buatan tangan mereka untuk dijual keliling kampung. Bapak Wagimin tidak buta sejak lahir, sehingga Beliau cukup beruntung karena sempat memperoleh pendidikan sewaktu kecil, sementara istrinya–Ibu Rohayati, terlahir sebagai seorang tuna netra. Setiap malamnya, Bapak Wagimin menyempatkan diri untuk mengajari sang istri cara membaca dan menulis dengan huruf-huruf braille dengan bekal pendidikan yang diperolehnya saat kecil. Selain menjadi seorang penjual sapu, Bapak Wagimin terkadang membantu orang lain mengambil buah kelapa di pohon yang begitu tinggi dengan imbalan beberapa buah kelapa. Sewaktu kecil, ia begitu rajin memanjat pohon kelapa lantaran ingin membantu kedua orang tuanya mencari uang.

Untuk makan sehari-hari, sepiring nasi dengan lauk tumis kangkung menjadi santapan yang dianggap mewah bagi sepasang suami istri ini. Begitu aku melihat sayur kangkung itu sendiri, aku pun terhenyak, karena sesungguhnya aku tidak pernah benar-benar menyukai sayur kangkung. Bagi Bapak Wagimin dan Ibu Rohayati, sayur kangkung sangatlah lezat dan bergizi, ketimbang singkong yang hanya bisa mereka makan ketika mereka tidak memiliki cukup uang untuk membeli beras. Bapak Wagimin juga kerap menggarap tanah orang sendirian untuk ditanami singkong, dengan imbalan setengah dari hasil panen singkong tersebut.

Dari kisah ini, aku tidak ingin mengkritik stasiun televisi yang menjual rasa iba, melainkan ingin belajar sesuatu–bagaimana aku harus selalu bersyukur dengan keadaanku. Setidaknya, aku masih memiliki kedua mata untuk melihat. Setidaknya, aku tidak pernah kekurangan makan. Setidaknya, aku jauh lebih beruntung.

Halo dan Salam Kenal

Lucu. Aku tidak bisa mengingat nama adik kecil ini sama sekali. Tetapi yang jelas, aku tidak akan pernah melupakan momen di saat aku bertemu adik kecil yang lucu ini.

Kulitnya hitam manis. Bajunya sedikit kumal dan lusuh. Ya, ia tinggal di sebuah yayasan. Yayasan itu bernama Yayasan Senang Hati di mana sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang terlahir dengan begitu istimewa.

Aku memiliki kecenderungan untuk menghampiri anak-anak kecil yang terlihat manis dan menggemaskan, begitu pula saat aku bertemu adik ini. Kalau tidak salah namanya Arga. Kalau tidak salah.

Ketika aku pertama tiba di yayasan ini, senyum manis dan aksi diam Arga langsung membuatku penasaran. Aku pun spontan jongkok dan mengulurkan tangan untuk bisa menjabat tangannya sebagai tanda salam kenal. Dan tanpa disangka-sangka, bibirnya yang mungil malah mencium tanganku. Aku kaget sekaligus senang. Sebuah kecupan hangat dari Arga membuatku lagi-lagi berpikir. Seorang anak kecil yang sedikit kurang beruntung saja bisa berperilaku begitu manis, lalu mengapa aku tidak bisa?

Terima kasih ya, Dek, untuk ciuman Halo dan Salam Kenalnya. šŸ™‚

Kembali ke Perpisahan

Semakin banyak perjumpaan, semakin banyak pulalah perpisahan yang akan dan harus hadir. Ya, memang berat.

Aku tidak pernah menyukai berita duka, tidak pernah juga senang mengucapkan selamat tinggal. Lebih baik mengatakan “Sampai jumpa”, ketimbang harus mengucapkan “Selamat tinggal.” Mungkin bagi sebagian orang kedua frasa ini tidak ada bedanya. Keduanya sama-sama diucapkan ketika kita–atau aku, berpisah dengan orang yang kujumpai.

Aku benci mengatakan hal ini, tetapi belajar mengikhlaskan kepergian siapapun di muka bumi ini tidak pernah terasa mudah. Rasanya, lebih baik mengerjakan ujian dengan seribu soal daripada harus berpisah tanpa tahu kapan akan bersua kembali.

Tulisan ini kubuat untuk menghormati orang-orang yang telah datang dan pergi dalam hidupku, terutama untuk mereka yang sudah naik ke Surga. Halo, Kak Anggi, Ama, Mas Dekun, dan semuanya! šŸ™‚

Aku tahu, mungkin suatu hari nanti akan tiba giliranku untuk meninggalkan semua yang kupunya; untuk mengikhlaskan semua momen yang pernah kumiliki selama aku hidup. Tidak, aku tidak mau mati. Tidak, aku tidak mau bunuh diri. Aku hanya bersiap-siap untuk segala kemungkinan yang bisa terjadi. Tidak ada salahnya, kan? šŸ™‚

Yang jelas, aku sangat beruntung dan bersyukur atas semua perjumpaan dan perpisahan yang pernah terjadi dalam hidupku. Semuanya telah berhasil menciptakan berbagai macam kesan dan pesan. Semuanya telah menjadi begitu berarti. Semuanya telah tersimpan rapi dalam memori di otakku… dan semoga saja aku tidak harus melupakan itu semua hingga ku mati nanti. Semoga. Tapi, sekali lagi, tidak ada yang akan pernah tahu, kan?

Pada akhirnya, kita semuanyalah yang akan memutuskan. Kita semualah yang harus mengucapkan salam perpisahan. Semua perjumpaan harus kembali ke dalam satu perpisahan.

Melepas yang Harus Dilepas

Ya, melepas yang harus dilepas. Sulitkah? Tentu. Butuh waktu yang cukup lama bagiku untuk melepaskan hal ini, ya hal ini. Bertahun-tahun aku terjebak dalam imajinasiku sendiri, bertahun-tahun aku terjebak dalam bayangan kesempurnaan. Hasilnya? Nihil.

Melepaskan sama sekali berbeda dengan kehilangan karena melepaskan sesuatu berarti sesuatu itu yang harus menunggu kita untuk melepaskannya, sementara kehilangan…kita yang harus rela ditinggalkan oleh sesuatu yang amat dekat dengan kita, atau yang amat kita cintai. Aku minta maaf untuk panggilan ‘kita’ yang seakan-akan berniat untuk mendikte kalian, meski aku tidak berniat mendikte kalian sama sekali.

Yang jelas, kini ada perasaan bahagia sekaligus lega yang menghampiriku. Aku bahagia pada hal yang telah berhasil kulepaskan setelah bertahun-tahun lamanya. Ini tidak mudah sama sekali, tetapi aku kali ini sangat yakin bahwa semua ini adalah yang terbaik.

Aku bangga pada diriku sendiri karena aku telah berhasil melepaskan sesuatu yang seharusnya sudah kulepaskan sejak lama. Aku bangga pada diriku dan kesiapanku untuk menyambut apapun yang akan terjadi di masa depan.