Sepiring Kwetiauw di Papua

Pagi tadi, Minggu, 16 September 2012, aku mengikuti Misa Kudus di Paroki St. Laurensius, Alam Sutra. Misa pagi tadi terasa berbeda karena kami semua diiringi koor dari Papua juga ditemani seorang pastor dari Papua yang menemani Romo Nono. Sejujurnya, aku bukan seorang pendengar yang baik selama misa di gereja, tapi pagi tadi aku mendengarkan khotbah dengan cukup baik, bahkan merenungkannya. Aku tidak ingat betul siapa nama pastor yang melayani di Papua itu, tapi yang jelas, ceritanya tentang sepiring kwetiauw di Papua membuatku tertegun cukup lama pagi tadi.

Suatu hari, pastor ngidam seporsi kwetiauw yang jarang sekali dijual di Papua–terlebih karena Beliau melayani di Papua bagian pedalaman–daerah hutan-hutan. Pada akhirnya, Beliau pun memutuskan untuk pergi ke kota yang jaraknya 180 km dengan naik motor untuk pergi makan kwetiauw seharga 30 ribu rupiah/porsi. Ketika Beliau tengah menyantap kwetiauwnya, tiba-tiba ia terkejut dengan kehadiran seorang anak kecil yang tengah mengantri untuk membeli kwetiauw dan menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan pada si penjual kwetiauw.

Melihat anak kecil tersebut, si penjual kwetiauw terkejut dan bertanya, “Dari mana kamu, Dik?”

“Saya datang dari jauh. Saya datang dari hutan.” Mendengar hal ini, baik si penjual kwetiauw maupun Pastor sontak terkejut. Hutan yang dimaksud adalah hutan tempat Pastor bekerja yang jaraknya 180 km. Pastor pergi ke kota menggunakan sepeda motor, sedangkan si anak kecil berjalan kaki hanya untuk menyantap sepiring kwetiauw.

Tanpa pikir panjang, penjual kwetiauw langsung memasak sepiring kwetiauw untuk anak kecil itu dan menerima selembar uang sepuluh ribuannya. Di tengah antrian, seorang ibu-ibu yang nampak tidak sabar langsung menyeletuk, “Mas, kalau dia saja bisa membeli seporsi kwetiauw dengan sepuluh ribu, berarti porsi kita seharusnya ditambah.”

Mendengar celetukan ibu-ibu tersebut, si penjual kwetiauw hanya menjawab, “Kalau ibu mau kwetiauwnya seporsi hanya sepuluh ribu, ibu harus jalan 180 km dulu, ya.”

Ibu-ibu itu pun langsung terdiam mendengar perkataan si penjual kwetiauw.

Cerita ini mungkin tidak persis seperti cerita yang dikhotbahkan Pastor tadi pagi, tapi aku tetap ingin membagikan cerita ini. Sungguh disayangkan, negeri Papua yang kaya ternyata sangatlah miskin. Memang benar adanya, bahagia itu sederhana. Bahagia itu sesederhana membeli sepiring kwetiauw dengan selembar uang sepuluh ribuan dan berjalan kaki 180 km jauhnya hanya untuk menyantap kwetiauw tersebut.

Terima kasih banyak untuk Pastor yang telah membagikan cerita ini. Semoga misi pelayanannya bisa semakin maju.

Mengapa Marah?

Kini aku bertanya, mengapa marah? Bertahun-tahun manusia memerangi rasa marah, berusaha meredam amarah yang seringkali menyesakkan dada. Rasa sakit hati, benci, marah, dendam, kesal, hingga muak menjadi alasan mengapa manusia sulit sekali mengendalikan amarahnya.

Begitu juga dengan aku, ingin sekali aku menyalahkan masalah genetik sebagai alasan mengapa aku mudah sekali marah. Ingin sekali aku marah-marah setiap saat. Begitu banyak kebencian, begitu banyak dengki. Mungkin aku terdengar berlebihan, tapi ingatkan aku kalau memang hanya aku yang bermasalah dengan pengendalian emosi. Ingatkan aku, beritahu aku, jika ada di antara kalian yang tidak pernah marah sekalipun.

Meluapkan emosi dengan marah-marah pada dasarnya tidak baik bagi kesehatan jantung, juga pada hati kita sendiri. Tapi ada juga yang bilang bahwa memendam sesuatu–termasuk amarah, justru tidak baik sama sekali. Intinya? Memendam sesuatu dan marah-marah sama-sama tidak baik. Dua-duanya sama-sama bikin diriku sendiri sengsara, begitu menurutku. Dengan marah-marah, aku membuang energi banyak sekali. Dengan memendam sesuatu, berarti aku tidak bisa belajar memaafkan siapapun–termasuk diriku sendiri.

“Lalu, mengapa marah?” Pertanyaan ini kerap kali muncul di benakku, muncul ketika aku menyesali saat-saat di mana aku marah. Membuat aku menyesal karena telah mengumpat pada banyak hal, marah pada keadaan yang tidak bisa dirubah sama sekali. Di saat aku marah, aku seringkali menyakiti diriku sendiri. Aku menyimpan amarah setelah sekian lama dan kemudian meledakannya begitu saja. Bodoh? Ya, memang. Aku menyadari bahwa ada saat-saat di mana aku sering bertindak dan berpikir dengan begitu bodoh. Tapi dengan berperilaku bodoh seperti itu, aku belajar bagaimana caranya untuk menjadi lebih pintar. Sedikit lebih pintar. Ya, sedikit saja.

Dan seiring dengan berjalannya waktu, aku semakin sadar bahwa meluapkan emosi dengan ekspresi muka super galak, mengumpat, menyakiti perasaan orang lain dengan kata-kataku–semua itu tidak ada gunanya sama sekali. Semua itu hanya membuatku merasa begitu bodoh karena tidak bisa berpikir dua kali sebelum marah. Mungkin ayat dalam Injil tentang mengasihi musuh seperti aku mengasihi diri sendiri ada benarnya juga. Sulit? Ah, tentu saja. Di dunia ini, tidak ada satu pun yang benar-benar mudah. Setidaknya, begitu menurutku. Jadi, tugasku sekarang adalah belajar untuk memaafkan hal-hal yang membuatku marah. Belajar untuk memaafkan orang-orang yang membuatku marah. Naif memang, tapi beginilah kenyataannya. Sekali lagi, menurutku.

Untuk itu, sekarang aku telah tiba pada suatu kesimpulan bahwa ada banyak hal yang bisa kulakukan untuk bisa menyalurkan emosiku tanpa harus memendamnya. Salah satunya adalah dengan menulis. Sejujurnya, menulis tulisan ini agak sedikit berat bagiku karena begitu sulit bagiku untuk memahami setiap amarah dari masalah. Namun aku sadar, menjalaninya adalah hal termudah untuk bisa memahami. Pelan-pelan, tentu saja. Kini aku semakin percaya bahwa menulis itu menyembuhkan. Kini aku percaya bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja.

Bahkan, Om Bob Marley juga sering berkata, “Don’t worry about a thing, ‘cuz every little thing is gonna be alright.”

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=8mNGvvOnV18&feature=fvwrel]

Sekali lagi, mengapa marah?

Bali, 15 Agustus 2012 – Hari Pertama

Aku masih ingat sekali penerbangan yang kulewati pada tanggal 15 Agustus 2012 yang lalu. Hari itu adalah hari yang cukup panjang dan melelahkan, apalagi dua hari sebelumnya aku tengah menjadi panitia PSA FIB UI 2012 dan harus terjaga seharian penuh sejak pukul tiga pagi. Ah, tapi ini tidak penting. Yang penting adalah awal perjalananku di Bali, yaitu pada hari Rabu, 15 Agustus 2012.

Pada Rabu siang itu aku terbang dengan penerbangan pukul 12.30 dan aku membawa koper terbesar seberat 16 kilo atas saran Mama dan adikku–Joan. Seperti biasa, aku selalu packing pada beberapa jam sebelum keberangkatan dengan santainya, sementara orang-orang di sekitarku malah kebakaran jenggot karena takut aku ketinggalan pesawat. Intinya, aku tidak terlambat dan tiba tepat waktu di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali. Malah, aku, Mama, dan Joan sempat makan siang dulu di Restoran Bakmi GM.

Penerbangan itu adalah penerbanganku sendirian untuk yang kesekian kalinya. Banyak orang mungkin takut tubuh kecilku akan hilang ditelan keramaian atau bahkan terselip di kabin pesawat–tapi tenang, aku selalu berhasil tiba di tempat tujuanku dengan selamat.

Musim libur Lebaran sekaligus Hari Kemerdekaan Indonesia membuat hari tibanya aku di Denpasar terasa lain. Bendera merah-putih berkibar di mana-mana dan banyak sekali turis baik lokal maupun luar negeri yang berlalu lalang di bandara. Berusaha memerangi rasa penatku akan keramaian (seperti biasa), aku pun berhasil berjalan menuju terminal kedatangan dalam negeri untuk bertemu Ryan Feinstein dan teman-teman baru (baca: wanita-wanita inspirasional dari belahan dunia lain) yang juga tiba hari itu. Penerbanganku tentu berbeda dengan mereka karena penerbanganku hanya berlangsung selama 1 jam 20 menit, sementara kebanyakan dari mereka harus terbang lebih dari 20 jam agar bisa tiba di Denpasar, Bali, Indonesia. Wajah-wajah mereka terlihat lelah, namun tetap terlihat sangat bersemangat. Inilah energi yang kusukai dari mereka, energi positif pembawa semangat. Mereka yang tiba bersamaku di bandara menuju Ubud adalah Barbara Jefferson, Sonja Basha, Melanie Leanne, dan Anna Wagner. Mereka berempat adalah sahabat pertamaku di YWLT 2012.

Setelah penerbangan yang cukup panjang, kami pun mengikuti perjalanan menuju Ubud. Euforia tentang negara Asia yang begitu berbeda memenuhi dada keempat sahabatku. Mereka begitu terkejut melihat banyaknya pengendara motor wanita yang terlihat keren di jalanan. Ramainya jalanan dengan mobil dan motor yang awut-awutan menjadi keindahan tersendiri bagi mereka. Juga pemandangan sebuah pertandingan sepak bola di tanah lapang terbuka dengan puluhan penonton yang mengelilingi.

Lalu kami akhirnya tiba di Madra’s Homestay yang dihuni oleh beberapa anjing yang awalnya cukup membuatku takut. Homestay bergaya rumah Bali ini dimiliki oleh Bapak Madra dan istrinya. Di sini ada banyak kamar yang disewakan untuk homestay para turis yang datang ke Ubud. Malam itu pulalah aku berkenalan dengan teman sekamarku yang berasal dari Brazil–Kelly Christina da Silva. Malam pertamaku di Ubud ditutup dengan dinner yang begitu lezat, yaitu seporsi Spaghetti Aglio Olio dari restoran Pizza Bagus, Ubud.

Sangat menyenangkan!

Bali dalam 16 Hari

Hai, ini aku. 🙂

Sekali lagi, ini aku yang masih mencintai bunga matahari. Berbeda dengan tulisan-tulisan yang biasanya, kali ini aku akan bercerita tentang liburan sekaligus training yang kujalani di Bali selama 16 hari. Terima kasih banyak untuk Fadilla Dwianti Putri atas permintaannya sehingga aku memberanikan diri untuk bercerita tentang 16 hariku di Bali.

Begitu banyak kenangan yang tidak ingin kulupakan, begitu banyak pelajaran yang kudapatkan selama di Bali beberapa waktu lalu. Sekadar info, aku di sana untuk mengikuti Young Women’s Leadership Training 2012 yang diadakan oleh Bali Institute juga dua fasilitator asal Amerika Serikat yang bernama Barbara Jefferson dan Mary Candice Shindler. Oh iya, Sonja Basha juga turut memberikan beberapa workshop selama training. Di training tersebut, kami berempat belas–termasuk Barbara, Mary, dan Sonja melewati empat belas hari training bersama-sama. Kami berbagi banyak cerita, tawa, hingga air mata. Semuanya terasa begitu menyenangkan dan tidak terlupakan. Kami menghabiskan banyak malam di Ubud, tapi juga sempat bermalam di daerah Singaraja–tepatnya di pinggir Pantai Lovina.

Sebelumnya aku ingin berterima kasih banyak pada Ryan Feinstein dari Bali Institute yang telah memilihku sebagai penerima beasiswa training senilai 1,750 USD. Aku tidak tahu bagaimana jadinya bila aku harus membayar biaya keseluruhan training sendirian. Aku sangat beruntung dan bersyukur. 16 hari di Bali benar-benar tidak terlupakan sama sekali.

Menjadi bagian dari YWLT 2012 adalah kebanggaan terbesar bagiku. Aku bangga menjadi seorang perempuan. Aku bangga menjadi seorang wanita.

NB. Aku akan mem-post beberapa suntingan tentang YWLT 2012. Terima kasih.

Selamat berakhir pekan!

Dongeng Tentang Perjumpaan dan Perpisahan

Hei, hidup ini adalah sebuah dongeng tentang sebuah perjumpaan dan perpisahan. Lalu, mengapa murung? Lalu, mengapa bersedih?

Aku sering bertanya-tanya di dalam benakku sendiri, mengapa ada begitu banyak perjumpaan dalam hidup ini. Aku pun lelah menebak-nebak, aku lelah mencari tahu jawabannya. Ketika aku bertemu kamu, ketika kamu bertemu aku, ketika aku bertemu kalian, ketika kalian bertemu mereka, ketika mereka bertemu dia. Setiap detiknya, ketika bertemu dengan orang-orang yang bahkan bisa mengubah hidup kita seluruhnya. Membuat semuanya semudah sebuah jentikan jari. Voila!

Perjumpaan yang kadang tak beralasan, seringkali diakhiri dengan sebuah perpisahan yang beralasan. Terlalu banyak alasan malah. Andai saja aku tahu apakah ini misteri, apakah ini khayalanku sendiri?

Dengan waktu yang selalu berlari, begitu sering aku merasa tidak sanggup mengejarnya. Tapi sekali lagi, berjalan beriringan–bahkan sambil bergandengan tangan dengan waktu bisa dibilang sebagai cara termudah untuk mengimbanginya. Waktulah yang mempertemukan aku dengan setiap insan yang pernah ada, masih hadir, dan akan muncul dalam hidupku. Waktu jugalah yang kemudian memisahkan aku dengan setiap orang yang kutemui.

Acceptance atau penerimaan adalah hal tersulit dalam hidup–setidaknya, bagiku. Ya, bagiku. Dalam setiap detik aku bernafas, aku selalu berusaha untuk menerima apa yang ada dan tidak ada dalam hidupku. Berbeda, penerimaan sangatlah berbeda dengan rasa syukur. Namun, keduanya berhubungan. Dengan menerima segala sesuatunya, secara tidak langsung aku telah mensyukuri apa yang ada dalam hidupku. Ya, kan? “Ya,” kataku.

Ah, sepertinya aku sudah melantur terlalu jauh.

Ngomong-ngomong tentang perjumpaan dan perpisahan–menurutku semua ini tentang penerimaan. Jika kita bisa menerima setiap perjumpaan dan perpisahan yang datang dalam hidup, maka keduanya akan muncul lagi dalam hidup. Semudah itu. Rasa percaya juga sangat dibutuhkan. Kalau kita bisa percaya pada keajaiban–bagaimana orang-orang yang hadir dalam hidup kita datang karena/memberi keajaiban, tentu jika mereka suatu saat pergi, kita bisa bertemu lagi dengan mereka asal kita percaya. Ya, begitulah.

Sekali lagi, hidup ini adalah dongeng tentang perjumpaan dan perpisahan.

🙂

Datangnya Keberuntungan

Hai, ini aku. Kali ini, aku mau bercerita tentang berbagai keberuntunganku dalam ikut banyak sayembara atau kuis-kuis–tapi tidak termasuk undian berhadiah besar lain yang diperoleh Mama atau keluarga.

Hmm… Oke, aku mulai saja.

Waktu aku masih bocah ingusan, aku sering sekali ikutan kuis-kuis di majalah, mulai dari majalah Bobo hingga majalah-majalah remaja. Tak jarang, aku juga ikutan kuis-kuis dari produk-produk makanan… Lucu, ya? Iya.

Di kamarku bahkan bertumpuk hadiah-hadiah yang pernah kudapatkan dari berbagai lomba itu, mulai dari jaket Bobo yang sudah kekecilan, boneka tangan dari permen coklat Smarties, VCD Serial Lizzie McGuire, Kaset dan CD berbagai musisi mancanegara, Sepatu, Tas, Baju, kesempatan bertemu artis idola, iPod Shuffle, hingga tiket konser beberapa musisi seperti All Time Low dari Om Adrie Subono, tiket konser Jason Mraz di Bali dari Simpati, tiket konser Zee Avi dari Plaza Indonesia, sampai tiket konser Jason Mraz di Senayan kemarin dari Green Sands. Banyakkah? Iya, banyak. Banget? Ya, lumayan. 🙂

Dan hadiah yang paling aku banggakan selama ini adalah tiket gratis konser Jason Mraz dalam dua konser berturut-turut. Bisa menikmati harmoni musik dari musisi kegemaranku secara cuma-cuma.

Ya, aku adalah manusia paling bahagia.

Yang jelas, aku sangatlah beruntung. Zuperduper beruntung. Kuncinya? Apa, ya? Kerja keras, optimis, tapi juga pasrah. Terlebih, karena aku selalu percaya bahwa semuanya sudah disusun oleh Tuhan. Kalau memang sudah jatah dan rejekiku, pasti Tuhan mengijinkanku untuk mendapatkannya.

Dan semoga, suatu hari nanti aku bisa memenangkan paket jalan-jalan, ke tempat-tempat terindah di dunia. Semoga. Semoga saja.

Pesan dari Mama

Tiba-tiba aku teringat, apa kata Mama sekitar dua bulan yang lalu. Mungkin, sudah terlalu lama aku hidup bergantung pada pendapat dan anggapan orang lain. Mama benar.

“Lakukanlah apa yang membuat kamu bahagia. Tetap lakukan. Jangan biarkan pendapat orang lain merusaknya. Berhentilah mendengarkan opini orang lain yang malah menghancurkan kebahagiaanmu. Jadilah orang yang bahagia.”

Ya, Ma. Aku tidak akan lupa. Iya.

Cerita Masa Kecil

Ini adalah ceritaku tentang kejadian masa kecil yang tidak pernah kulupakan, yang mengingatkanku bagaimana aku yang masih bertubuh kecil tapi juga pernah menjadi anak kecil, hahaha. Cerita ini sudah pernah dibaca oleh guruku, Mbak Clara Ng untuk tugas Kelas Novel Dasar. 

 

Selamat Membaca!

 

 

Aku ingat suatu kejadian di masa kecil saat aku masih belajar di Taman Kanak-kanak (TK). Waktu itu, umurku masih empat tahun dan adik perempuanku baru satu, Joan.

Bagiku saat itu, bermain dengan teman cowok jauh lebih mengasyikkan dibandingkan dengan bermain bersama teman cewek. Rambutku dulu pendek kayak cowok, sehingga sering sekali orang-orang, terutama orang dewasa meledekku dengan memanggilku sebagai cewek tomboy.

Aku sebenarnya nggak pernah benar-benar mengerti apa itu kata ‘tomboy’. Tapi aku sadar kalau saat masih kecil aku nggak begitu gemar bermain bersama teman-teman perempuan, juga nggak suka ikut menari seperti adikku yang gemar pentas menari tradisional di sekolahnya. Aku paling nggak suka didandanin sebagai cewek tulen saat masih kecil.

Saat itu, aku punya tiga teman cowok yang suka bermain denganku. Ketiganya belajar di satu kelas yang sama denganku. Mereka adalah Dimas, Yabes, dan Kevin. Dimas dan Yabes adalah sepupu, sementara Kevin yang bertubuh gendut adalah teman kami yang tinggal cukup jauh dari sekolah.

Sebelum bel masuk berbunyi atau waktu jam istirahat, kami berempat gemar sekali bermain kejar-kejaran di aula sekolah sampai ngos-ngosan. Kami sering banget main tak jongkok, petak umpet, tak benteng, dan tak patung. Untung rambutku dulu pendek, kalau nggak pasti aku sudah kegerahan karena rambut panjang selalu bikin aku keringatan.

Suatu hari, begitu aku sampai di rumah, aku bercerita ke mama kalau aku disetrap di sekolah. Mama bingung sekali waktu mendengar aku disetrap. “Fin, kamu kenapa bisa disetrap? Emangnya kamu bandel?”

Aku menggeleng. Dengan enteng aku menjawab, “Tadi temen-temenku ditanyain siapa aja yang nggak bawa topi… Terus Dimas, Yabes, sama Kevin nggak bawa topi. Ya udah deh, aku bilang aja aku nggak bawa topi.”

Mama melotot karena heran. “Topi kamu bukannya udah mama masukkin ke tas, ya?”

Aku mengangguk. “Iya, tadi Sefin bawa topi kok, ma.”

“Kamu bawa topi… Tapi, kenapa kamu bilangnya kamu nggak bawa topi?” Mama tambah heran.

“Yah kan asyik ma disetrap rame-rame.” Aku nyengir.

“Wah, dasar kamu.” Mama menertawaiku. “Solidaritasnya tinggi juga, ya.” Aku mengangguk-angguk saja waktu itu, padahal aku nggak tahu apa arti kata ‘solidaritas’.

Begitu aku dewasa, mama sering sekali menceritakan kejadian lucu ini padaku, meskipun aku sendiri nggak begitu ingat detilnya. Kurang lebih, kejadian itu berlangsung seperti di atas.

Saat aku belajar di Sekolah Dasar (SD) akhirnya aku mengerti betul apa arti kata ‘tomboy’ dan ‘solidaritas’. Mama juga membantuku memahami arti kedua kata ini. Mama saat itu bilang bahwa cewek yang tomboy adalah cewek yang berperilaku sedikit seperti cowok. Aku sadar sekali kalau aku memang berperilaku seperti cowok, apalagi aku dulu gemar sekali bermain sepak bola dan bermain sepeda dengan teman-teman cowok. Mama lalu menjelaskan padaku kalau solidaritas itu adalah tenggang rasa. Aku sebenarnya bingung apa itu ‘tenggang rasa’, tapi waktu mama menyebutkan ‘setia kawan’, akhirnya aku mengerti. Dari kecil, aku memang senang sekali berteman dan bergaul.

Sampai saat ini, aku tidak pernah melupakan cerita ini, cerita yang sering kali mama ceritakan padaku. Kejadian ini membuatku teringat pada teman-temanku saat kecil, juga perilakuku saat kecil—bagaimana aku gemar sekali bermain bersama teman-teman cowok, tidak pernah takut bermain panas-panasan, dan aku begitu cuek. Meskipun aku seringkali diledek sebagai cewek tomboy, aku tidak pernah peduli pada anggapan orang karena saat kecil aku selalu merasa senang.

Menjadi seorang anak kecil sangatlah menyenangkan dan rasanya sangat berbeda dengan apa yang kurasakan pada saat ini. Seorang Sefin kecil tidak pernah begitu khawatir akan apa yang dialaminya sehari-hari, namun seorang Sefin yang bisa dibilang sudah dewasa seringkali khawatir akan berbagai masalah yang menimpanya. Aku rindu menjadi seorang anak kecil yang selalu bisa bersenang-senang dan tidak pernah khawatir atau takut.

Meski begitu, pada akhirnya aku menyadari bahwa seseorang pastilah bertumbuh dan melewati fase-fase seperti yang kualami. Setiap orang pasti berubah dari seorang anak kecil yang selalu didampingi orang lain menjadi seseorang yang dewasa dewasa yang harus bisa mandiri dan berdiri sendiri. Semua ini adalah proses kedewasaan.

Di luar itu semua, aku bisa menemukan satu kemiripan dalam semua proses yang kulalui dari kecil—aku selalu memiliki teman-teman yang tidak pernah aku lupakan. Mereka semua akan terus kukenang, meskipun banyak dari mereka yang belum pernah kujumpai lagi. Inilah proses. Inilah hidup. Inilah yang disebut sebagai proses kedewasaan. 

Mimpi

Ini adalah ceritaku tentang mimpi yang selalu terulang saat ku kecil dan tidak pernah kulupakan. Cerita ini sudah pernah dibaca oleh guruku, Mbak Clara Ng untuk tugas Kelas Novel Dasar. 

 

Selamat Membaca!

 

 

Ketika aku masih tinggal di rumah yang lama, aku sering sekali memimpikan suatu hal berulang-ulang dan mimpi itu terus-menerus tanpa ada kisah lanjutannya. Saat itu, usiaku kurang lebih sembilan tahun.

Di dalam mimpiku, aku tidaklah menjadi tokoh utama, melainkan menjadi orang kedua yang seolah-olah menjadi pencerita. Namun, aku tidak pernah benar-benar memahami arti dari mimpiku tersebut, bahkan hingga saat ini.

Saat itu, aku bermimpi bahwa aku tengah berada di suatu tempat asing, di suatu kota yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Kota itu tampak seperti tidak memiliki kehidupan dan sangat gersang. Panas terasa begitu menyengat di kulitku, sehingga seluruh tubuhku begitu perih. Aku juga tak henti-hentinya berkeringat, hingga berulang kali keringat yang keluar dari dahi turun sampai ke dagu.

Aku pun langsung mengarahkan pandanganku pada langit di kota asing itu, langitnya berwarna oranye seperti warna sebuah jeruk mandarin yang terlihat manis, namun saat kau mencicipinya, jeruk itu terasa sangat masam. Begitu pula suasana hatiku dalam mimpi itu. Warna langit yang oranye dan begitu indah ternyata tidak membuat hatiku bahagia sama sekali. Aku merasa sangat sedih dan aku pun tidak tahu apa alasannya aku bersedih.

Aku seperti seorang musafir di dalam mimpiku itu, seperti seorang tokoh utama di buku The Alchemist karya Paulo Coelho. Aku terus dan terus berjalan, sampai pada akhirnya aku tiba di sebuah lorong yang terletak di antara gedung-gedung tua. Gedung-gedung tua yang tidak dicat dengan struktur tembok bata yang terlihat jelas itu nampak seperti gedung-gedung tua yang ada di film-film Hollywood. Gedung-gedung itu tidak rapuh, namun tidak juga terlihat begitu kokoh. Warnanya oranye kecoklatan dan ada banyak tangga besi berkarat yang menghubungkan tiap lantainya, seperti gedung-gedung yang biasa dipanjat Peter Parker dalam film Spiderman. Bedanya, aku melewati gedung-gedung ini pada sore hari, tidak seperti Peter Parker yang biasa membasmi penjahat pada malam hari dalam kostum manusia laba-labanya.

Di ujung lorong tersebut aku melihat sesosok pengantin wanita, lengkap dengan baju pengantin modern bergaya Eropa dengan kerudung tertutup berwarna putih mutiara. Pengantin wanita itu nampak begitu cantik, namun ada rasa sedih yang terpancar dari dirinya.

Saat aku ingin menghampirinya, tidak lama kemudian pengantin wanita itu lari. Ia tidak lari dariku, tetapi berlari mengejar sebuah bus yang telah meninggalkannya sendirian. Bus itu melaju dengan sangat kencang. Pengantin wanita itu terus-menerus berlari, menyeret gaunnya di jalanan gersang yang berdebu, seolah tidak peduli bila gaunnya akan rusak atau kotor. Sebaliknya, bus yang terus melaju itu tampak tidak bersahabat dan terus melaju, membuat debu jalanan bertebaran hebat, dan meninggalkan kepulan asam hitam dari knalpot tuanya.

Pada akhirnya, pengantin wanita itu menyerah dan jatuh tersungkur di tengah jalan yang penuh debu. Wajahnya masih tampak cantik, namun ia mulai menangis tanpa henti, juga tanpa suara. Ia terlihat begitu kumal dan menderita. Ia terlihat begitu kesepian. Dan ketika aku ingin melangkah lebih jauh untuk menghampirinya, aku pun terbangun dari mimpiku. Aku terbangun dengan perasaan sedih yang tak terkira, juga dengan keringat dingin yang mengucur deras di tubuhku.

Sebuah Ide Tentang Kehilangan

Belakangan, ide tentang kehilangan terus bermunculan di kepalaku. Aku sudah seringkali menuangkannya di berbagai tulisan, namun aku sebenarnya masih bertanya-tanya; apa itu kehilangan?

Bagiku, kehilangan adalah sebuah proses, bukan hanya sebuah momen yang terjadi di dalam hidup. Hidup siapa? Ya hidupku, hidupmu, dan hidup kita. Semua orang pasti pernah merasa kehilangan.

Kita pasti pernah kehilangan benda yang paling kita sukai, seperti aku yang pernah kehilangan sebuah jam tangan Hello Kitty favorit saat sedang berlibur ke Puncak bersama keluarga. Saat itu aku masih duduk di kelas 4 SD dan aku memang tipe anak yang sangat menyayangi barang-barang yang kupunyai, apapun itu. Atau mungkin kehilangan seekor binatang peliharaan? Aku pernah menangis sedih karena ikan-ikan kecil yang kubeli mati dalam waktu dua hari.

Tapi yang terberat tentu kehilangan orang yang kita cintai, orang yang kita sayangi. Orang yang kita temui setiap hari. Suaranya bahkan masih bisa kita dengar saat kita memejamkan mata–meski dia sudah tidak ada. Dan bersamaan itu pula, kita bisa dengan jelas melihat paras wajahnya, senyum ceria, tawa yang lepas, juga saat-saat yang pernah dilalui bersama. Mudah? Tentu tidak.

Pengalaman kehilangan pertamaku adalah waktu Ama meninggal. Waktu itu tahun 2005, bulan Februari yang kelam untuk Mama dan saudara-saudarinya. Ama adalah ibunda dari Mama. Namanya Anastasia. Kata Ii (tanteku), mata Ama berwarna coklat, tapi aku selalu percaya matanya berwarna biru.

Ama adalah nenek kesayanganku. Beliau dulu sering cerita kepadaku tentang Suster Josefina atau Josephina atau Josephine yang mengajar di sekolahnya dulu, sekolah berbahasa Belanda. Ama senang sekali bicara dengan Bahasa Belanda, juga menyanyikan lagu “Potong Bebek Angsa” dalam Bahasa Belanda. Suaranya merdu. Ama yang kukenal tidak pernah marah.

Kalau Ama sedang berkunjung ke Jakarta, beliau selalu menginap di rumahku. Ama cantik sekali, hidungnya mancung. Aku ingat dulu ia pernah menemaniku bermain The Sims. Dan aku gemar sekali mencubit-cubit tangannya yang sudah bergelambir seiring dengan umurnya bertambah. Aku sering berusaha melucu di depannya, menirukan gaya hantu-hantu yang sering ada di TV.

Sampai suatu hari waktu berjalan begitu cepat dan Ama masuk rumah sakit. Singkat cerita, Ama dipanggil Tuhan. Aku masih kelas 1 SMP saat itu. Aku begitu terpukul. Aku belum sempat berguru Bahasa Belanda dengannya. Aku belum sempat membanggakannya. Semua memori itu bahkan masih tergambar jelas di kotak ingatanku. Tubuh Ama di dalam peti, di rumah duka. Proses pemakaman… Semuanya sangat jelas. Kami menangis berirama, irama duka. Aku selalu menjadi salah satu cucu kesayangannya.

Setelah kepergian Ama, aku belajar banyak hal. Banyak sekali. Terlebih sebuah ide tentang kehilangan. Aku melihat orang-orang di sekitarku mulai kehilangan kerabat dan sahabat yang dicintai. Sahabat kecilku, Tasha, kehilangan Omanya. Oma yang selalu tersenyum dan terlihat awet muda. Juga Febby, sahabatku sejak SMP yang kehilangan Papanya karena sakit jantung.

Lalu aku mengenal Kak Anggi saat magang di Cosmogirl! tahun 2010. Kak Anggi adalah sosok terbaik. Sosok paling menggemaskan, mengingatkanku pada Velma yang ada di fim Scooby Doo. Aku ingat bagaimana ia bercerita tentang idolaku, Fitri Tropica. Mereka saling kenal. Kami berjanji untuk bertemu bertiga, kapan-kapan. Tapi aku tahu, momen ini tidak akan pernah tercipta. Hanya bisa sebatas di social media antar kami waktu itu, Twitter. Dan Kak Anggi sudah pergi duluan meninggalkan kami, sekitar enam bulan kemudian. Aku begitu shocked.

Waktu aku magang, ia selalu berusaha menyemangatiku. Membantuku dalam memecahkan masalah, juga memberiku wejangan-wejangan. Bahwa masa muda adalah momen yang tepat untuk bersenang-senang, bahwa kesehatan lebih penting daripada bentuk badan. Terima kasih banyak, Kak.

Kak Anggi, Epin sekarang sudah semakin bahagia. Aku senang sekali bisa mengenal kakak. Terima kasih banyak. Hatur nuhun, teteh. Epin kangen Kak Anggi. Suatu hari kita bisa ketemu lagi, kan? 🙂

Ama, Omanya Tasha, Papanya Febby, Kak Anggi, juga ada Apak Seng-Seng dan Mas Dekun.

Apak Seng-seng adalah kakak ipar dari Papa. Sosok yang selalu bisa dijumpai di halaman rumah saat keluarga kami berkunjung ke rumah Phopho. Ia tidak banyak bicara, tapi selalu murah senyum. Tidak banyak yang kuketahui tentangnya, tapi beliau adalah seorang ayah panutan.

Sedangkan Mas Dekun, hmm… Beliau adalah orang yang tidak akan pernah bisa kulupakan. Keisengannya, juga setiap senyum lebar dengan gigi tanggalnya yang terlihat jelas. Seseorang yang tidak banyak bicara dan sangat apa adanya. Seorang ayah, suami, sahabat, om, senior, juga guru bagi kami semua. Suaranya bahkan masih terekam jelas di telingaku. Bagaimana Mas Dekun memanggilku “Ipin” dan terus menegurku agar bisa bermain biola dengan lebih pede dan yakin. Lalu Mas Dekun pergi beberapa saat yang lalu. Tapi aku yakin, beliau pasti lebih bahagia saat ini.

Waktu selalu berlari, berlari meninggalkan pemilknya. Yang kita perlukan hanyalah mengejar, menjalaninya, dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Jangan sampai ada penyesalan yang tertinggal.

Memiliki selalu datang bersama sebuah kehilangan. Benar-benar tidak ada yang abadi, bukan? Kita menggenggam erat, tapi harus juga bisa melepas dengan mantap. Hidup ini adalah dongeng tentang keikhlasan. Hidup ini adalah sebuah perjalanan.