Aku ingat betul kejadian dua belas tahun yang lalu. Saat itu aku tengah mengayuh sepedaku menuju ke pantai, ketika ada sepeda lain yang menyusulku. Seorang anak laki-laki duduk di atasnya.
Di kota kecil tempatku tinggal, tidak biasanya ada anak seumuranku yang mau bersepeda di jam-jam seperti ini. Matahari yang terlalu menyengat sehingga mengharuskan kami menyipitkan mata, menjadi salah satu alasannya.
“Kriiing… Kriiing…” Pengendara sepeda yang menyusulku itu membunyikan bel. Aku girang bukan main, sepertinya ada tetangga baru yang bisa kuajak main sepeda tiap sore.
Ternyata aku salah.
“HEIII!!! TUNGGU, RAMA!!! SEPEDAKUUU!!!” Seorang anak laki-laki lain berlari dengan napas yang terengah-engah. Dia mengejar si pengendara sepeda yang tadi menyusulku.
Sepertinya dia butuh pertolongan.
Tangan kananku memencet rem. Sepedaku berhenti mendadak. “Kamu butuh tumpangan?” tanyaku pada si pelari.
Wajahnya tampak bingung. Kami sama sekali asing. “Ehm, iya. Aku butuh tumpangan. Mau mengejar sepedaku yang dibawa lari. Kamu bisa ngebut?”
“Tentu bisa. Ayo naik!” Tidak sampai lima detik, bokong anak itu sudah menempel di jok belakang sepedaku. Aku pun langsung mengayuh sepedaku dengan sekuat-kuatnya. Otot kakiku mungkin tidak besar, tapi aku sudah terbiasa kebut-kebutan dengan sepeda, apalagi kalau jalan raya menuju pantai sedang lengang.
“Dasar si Rama itu! Baru saja datang, langsung mengendarai sepedaku begitu saja tanpa izin.” Si pelari terus berceloteh.
Kamu tentu bisa menebak, pelari itu adalah Banyu Biru. Ya, dia adalah Banyu-ku.
“Jadi, kamu baru pindah ke sini?” tanyaku setengah berteriak. Angin cukup memangkas suara sehingga sulit terdengar.
“Iya. Aku baru saja pindah ke sini. Namaku Banyu Biru, panggil saja Banyu. Omong-omong, terima kasih untuk tumpangannya.” Banyu menepuk bahuku satu kali. Mungkin begitu caranya berkenalan dengan orang baru. Di atas sepeda.
Aku mengangguk-angguk. Seharusnya dia bisa melihat anggukanku dari belakang. Dan tidak mengiranya sebagai guncangan karena tekstur jalan yang sedikit berbatu. “Aku Senja Moktika, biasa dipanggil Senja.”
“Itukah sepedamu?” Sekitar lima meter di depan kami, ada sebuah sepeda yang tengah tertidur di atas pasir. Kami sudah tiba di pantai.
“Betul sekali! Terima kasih, Senja. Kapan-kapan kita main bareng, ya. Aku mau cari sepupuku yang jelek itu dulu.” Banyu turun dari sepeda dan menepuk bahuku. Sekali lagi.
Tubuhku bahkan lebih tinggi darinya. Banyu selalu bertubuh kurus namun terlihat kokoh dengan kulit coklat, menurutku seperti sebuah tongkat bisbol kayu.
Itulah perjumpaan pertamaku dengan Banyu. Tetangga yang bertemu di pinggir jalan. Yang satu terengah-engah, yang satu lagi tengah bersepeda dengan riang gembira.
Oke.. Maaf kaka aku baru pertama nih bacanya..
hihihi makasih Kak Herdy sudah mampir dan membaca! ^^