Aku dan Banyu sama-sama berada dalam lingkungan yang kecil. Kami tidak punya banyak teman, tapi tidak juga merasa kesepian. Setidaknya, untuk saat ini. Akan tetapi, aku tidak pernah tahu apa yang ada di pikiran Tante Sohita. Sebagai seorang perempuan paruh baya, Tante Sohita tidak terlalu banyak bicara–setidaknya bila dibandingkan dengan Bunda. Beliau juga bukan seseorang yang pendiam. Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi ada sesuatu pada karakter Tante Sohita yang benar-benar membuatnya berbeda. Dan jika kata “berbeda” terdengar begitu negatif, mungkin kata “istimewa” lebih tepat untuk menggambarkannya.
Aku pertama kali mengenal Tante Sohita setelah aku menyelamatkan Banyu dan sepedanya. Ya, di hari yang sama pada perjumpaan pertama kami. Kala itu, Tante Sohita baru saja selesai menari dan tengah membereskan kain-kainnya di ruang keluarga. Aku tidak mengerti apapun tentang kain, batik, serta tenun, tapi Tante Sohita memiliki lebih dari cukup banyak koleksi yang semuanya begitu indah dan cantik.
“Mama, Banyu sebal banget sama Rama. Menyebalkan sekali dia. Tadi sepedaku dibawa kabur, lalu ditinggalkan begitu saja di pantai. Untung aku bertemu dengan teman baruku ini. Namanya Senja. Waktu aku lagi lari-lari mengejar Rama yang membawa kabur sepedaku, Senja datang dan menawarkan tumpangan.” Akhirnya Banyu berhenti bicara setelah bicara panjang lebar dalam satu tarikan napas. Untuk seorang anak laki-laki yang baru kukenal saat itu, ia cukup cerewet. Meski demikian, akhirnya aku mengetahui bahwa Banyu hanya akan cerewet saat ia merasa kesal atau marah. Di hari-hari biasa, ia jarang sekali berbicara, terutama bila berada di tempat yang sama sekali asing baginya.
“Halo Tante, aku Senja,” ujarku kemudian mengulurkan tanganku yang mungil.
“Salam kenal Senja. Aku Tante Sohita.” Baru kali itu seorang perempuan dewasa menyebut dirinya “aku” kemudian memperkenalkan diri. Sejak saat itu, namanya menjadi nama favoritku. Entah apa arti “Sohita”, tapi yang kutahu “Sonita” dalam Bahasa Sansekerta berarti “darah”.
Aku tersenyum semanis mungkin. Siapa sih yang tidak mau terlihat manis dalam perjumpaan pertama?
“Terima kasih ya, sudah membantu Banyu menyelamatkan mejanya. Kamu sudah makan?” Aku tersenyum lagi, kemudian melirik jam tangan plastik yang ada di pergelangan tangan kananku. Di tutupnya ada gambar wajah Usagi, jagoan Sailormoon kesukaanku. Jam menunjukkan angka 4 dan 5 yang dipisahkan dengan titik dua yang berkedap-kedip. Sudah waktunya aku makan malam.
“Sama-sama. Makan siang sih sudah, Tante,” jawabku cepat setelah melirik jam tangan.
“Kamu suka makanan pedas nggak?” Aku mengangguk-angguk, persis seperti sebuah pajangan mobil yang kepalanya bisa bergoyang dan berputar hingga 360 derajat. Pajangan mobil yang sering kujumpai di mobil milik orang lain biasanya berbentuk anjing bulldog.
Tante Sohita lalu pergi ke belakang dan keluar setelah kurang lebih 2 menit–membawakan sepiring pisang goreng dan semangkuk kecil sambal. “Ini pisang goreng sambal roa. Sudah pernah coba?”
Aku menggeleng. “Sambal roa? Apa itu, Tante?”
“Sambal roa itu sambal khas Sulawesi Utara yang terbuat dari ikan roa, kecil-kecil, mirip ikan teri.” Aku lalu mengangguk-angguk lagi. Pisang goreng sambal roa pertama yang kucicip dalam hidupku adalah buatan Tante Sohita dan sampai saat ini, belum ada yang bisa menandingi rasa masakannya.
Perjumpaan pertama tentu selalu meninggalkan kesan yang berarti. Sebagai orang tua tunggal, Tante Sohita tampak selalu tangguh dan anggun. Mungkin makna kata “tangguh” dan “anggun” amat berkebalikan, tapi keduanya bisa serasi, setidaknya untuk Tante Sohita.
Tante Sohita begitu istimewa karena Beliau selalu tersenyum dengan bibir tipis yang merah merona. Ia juga begitu istimewa karena rambutnya yang panjang, hitam, dan berkilau selalu berhasil mengingatkanku pada bintang iklan sampo, walau ia lebih sering membuntal rambut dan mengikatnya tinggi-tinggi. Hidungnya yang mancung dan kecil terlihat begitu pas di wajahnya. Ah, sebenarnya hampir semua bagian wajahnya terlihat begitu sempurna. Mungkin “simetris” adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikannya.
Meski begitu ramah dan anggun, tidak jarang aku mendapati Tante Sohita melamun di teras rumahnya. Aku rasa Beliau masih sering merindukan ayah Banyu, Om Arga. Selesai melamun, Tante Sohita biasanya masuk ke dapur dan memasak. Setelahnya, Beliau akan mengajakku dan Banyu makan. Saat makan, Tante Sohita pasti berbisik ke telingaku, “Ini masakan kesukaannya Om Arga.”
Aku tidak pernah bertemu dengan Om Arga sebelumnya, tapi sepertinya, salah satu hal yang membuat Beliau jatuh cinta pada Tante Sohita adalah masakannya. Dan tentu, keistimewaannya.
Tante Sohita memang selalu istimewa dan spesial. Seperti halnya martabak. Hehe…
—
Ilustrasi Tante Sohita yang ada di bagian teratas postingan ini digambar oleh Wana Darma. Terima kasih banyak, Wana! Silakan liat gambar-gambarnya yang lain di -> http://instagram.com/pandaneira