Hampir tiga belas tahun yang lalu, aku berkenalan dengan Banyu. Hari-hari berikutnya, kami menghabiskan waktu sebagai sepasang anak kecil yang akan memasuki masa pubertas. Sebenarnya, tidak ada yang terlalu istimewa. Hanya saja, ada satu momen yang tidak bisa kuingat. Dan momen itu berhubungan dengan sebuah pertanyaan dari Banyu.
“Mengapa namamu Senja?” Banyu terus dan terus-menerus bertanya.
Sebenarnya, aku sudah bosan menjawab pertanyaan itu sejak kecil. Sebagai seorang anak perempuan yang tinggal dekat dengan pantai, dimana pantai tersebut menjadi tempat orang menonton senja setiap sore, semua orang tentu tahu apa itu “senja” dan mereka selalu penasaran mengapa aku dinamai Senja.
Jadilah aku mengarang cerita, supaya aku juga bisa menghibur diriku sendiri dari kebosanan. “Sebenarnya, aku dinamai Senja bukan karena kedua orang tuaku menyukai senja. Bukan. Ada cerita yang lain lagi.”
“Apa? Apa?” tanya Banyu begitu antusias. Kala itu kami tengah duduk di teras rumahnya. Tante Sonita tengah berada di dapur, membuat dua gelas jus alpukat atas permintaan Banyu, untuk kami.
“Kamu benar-benar ingin tahu?” Aku balik bertanya sambil berpikir keras. Imajinasi seperti apa yang bisa mengimbangi kebohonganku pada hari ini. Meski itu bukan pertama kalinya aku berbohong, namun membuat suatu cerita di balik kebohongan tersebut menjadi bagian tersulit.
Banyu hanya mengangguk. Sial. Jika ia mencecarku dengan banyak pertanyaan lain atau bahkan tebakan, aku mungkin masih punya banyak waktu untuk mengarang cerita. “Hmm…” Aku hanya bisa menggumam.
“Jadi? Kenapa namamu Senja?”
Aku menghela nafas. “Baiklah, jika kamu memang betul-betul ingin tahu.” Aku diam selama lima detik supaya bisa mengatur nafasku. “Namaku Senja karena orang tuaku ingin aku menjadi seorang perempuan yang senang jalan-jalan.” Aku menahan diri. Wajahku kubuat sedatar mungkin.
“Maksudnya?” Banyu tampak bingung. Tapi wajahnya selalu makin tampan saat ia bingung.
“Ya, begitu. Aku dinamai Senja untuk singkatan ‘senang jalan-jalan’.” Aku kembali menahan diri.
Banyu menggigit-gigit bibirnya sendiri. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, persis seperti seorang penari Bali. “Ah, kamu pasti bohong.”
“Tidak. Tidak. Aku tidak bohong. Ini kenyataan.”
Banyu menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Ia tampak semakin bingung. “Baiklah. Kalau begitu, aku akan mengajakmu jalan-jalan terus, supaya kamu benar-benar senang jalan-jalan.”
Aku tersenyum. Banyu benar-benar percaya! Rasanya aku ingin tertawa hingga terguling-guling. Tapi lagi-lagi, aku menahan diri. Di saat yang bersamaan, Tante Sonita berjalan ke arah teras sambil membawa dua jus alpukat untuk aku dan Banyu.
Setiap kali aku memikirkan cerita kebohongan itu, aku selalu merasa geli. Sejak hari itu, Banyu lah yang selalu menjelaskan pada setiap orang yang bertanya mengapa aku dinamai Senja. Sampai sekarang, aku tidak berani menceritakan alasan yang sebenarnya. Aku tidak tega merusak imajinasi Banyu sebagai seorang anak laki-laki yang ingin terus mengajakku jalan-jalan.
Salut deh sama kak Sefiiin, konsisten dengan Cerita Senja-nya.
Saya mah apa ya cuma niat doang bikin cerita, tapi ketunda melulu 😉 *numpang curcol*
Makasih banyak, Kaaak! ^^ Makasih udah baca.
Ah, aku mah apa atuh, Kak, bikin cerita fiksi kan lebih gampang daripada bikin travel post yang rutin gitu. Kak Badai bikin jiper, deh. :”)
Coba deh bikin cerita fiksinya, terus aku lebih rutin bikin travel post juga, deh. *fingercrossed*
Wahahaha Senja = Senang Jalan-Jalan bisa juga ya. Lucu deh singkatannya hehehehe
Hehehehehe bisa dong…makanya dibikin yang nggak biasa biar lucu 😛
Secangkir kopi dan senja di sebuah kedai kopi di tengah sawa 1ef4 h. Cerita bermula dari aku yang berkomentar tentang senja sore itu yang disambut oleh cerita tentangnya dan bagaimana ia mencintai kopi juga tembakau yang dihisapnya. Tanpa terasa cerita demi cerita terangkai dengan manisnya dan selalu berakhir ketika senja nyaris tertelan gelapnya malam.