Proses yang Bernama Adaptasi

Belakangan saya kembali dihantui oleh sebuah proses ini. Ya, oleh dia yang bernama adaptasi. Setelah tiga tahun atau enam semester ‘tinggal’ di tempat lain dan sesekali pulang ke rumah di akhir pekan, akhirnya saya kembali ke rumah. Rumah yang dibangun dengan hasil jerih payah Papa pada tahun 2004 dan oh, ternyata sudah 9,5 tahun kami tinggali sekeluarga.

Sebagai mantan anak kos, ternyata nggak semudah itu bagi saya untuk beradaptasi, bahkan di rumah sendiri. Tahun pertama kuliah saya habiskan di sebuah kamar kos yang luas dengan kamar mandi dalam ber-WC jongkok. Di sana, terserah saya mau ngapain aja. Dengan rak buku serta partitur stand, saya bisa di kamar seharian hanya untuk tidur-tiduran atau main biola. Meski kedengarannya nyaman, pada tahun kedua saya memutuskan untuk pindah karena letak kostan saya begitu dekat dengan sumber keributan, yaitu lapangan voli yang sering dijadikan tempat diadakannya acara-acara kampung seperti turnamen bulu tangkis dan acara 17-an.

Tahun kedua dan ketiga kuliah saya habiskan di sebuah kamar asrama susteran Katolik. Kali ini saya harus berbagi kamar dengan seorang teman baru bernama Belli selama tiga semester. Awalnya sempat segan, tapi akhirnya saya toh mulai terbiasa memiliki teman sekamar. Rasanya seperti memiliki seorang kakak baru, apalagi usia Belli lima tahun lebih tua dari saya. Pada semester 6, saya kembali tidur sendiri karena Belli sudah lulus dari program ekstensinya dan memutuskan untuk keluar dari asrama–meskipun saya tahu dia akan melanjutkan kuliahnya lagi, tapi memutuskan untuk keluar karena nggak betah dengan suster kepala yang galak dan ehm, suka teriak-teriak, “INI RAMBUT SIAPA???” tiap kali Beliau melihat helaian rambut berserakan di lantai asrama.

Keputusan untuk lulus 3,5 tahun dengan skripsi–ya, di FIB UI memang bisa lulus 3,5 tahun–kemudian membuat saya memutuskan untuk ‘kembali’ ke rumah. Awalnya, kuliah pulang pergi 15 SKS memang melelahkan, tapi saya kini sudah cukup terbiasa dengan rutinitas baru yang nggak bisa lagi membiarkan saya begadang sesuka hati. Singkat kata, kini saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.

Sebagai anak sulung yang jarang di rumah karena nggak betah dan nggak bisa diam, saya pelan-pelan membiasakan diri melihat pemandangan yang mungkin hanya bisa saya lihat ketika berlibur di rumah saat akhir pekan waktu masih ngekos dulu; Papa yang bangun tidur langsung nonton TV terus sarapan terus tidur lagi terus nonton TV lagi terus tidur siang terus makan lagi terus nonton TV, Mama yang bangun pagi langsung mendengarkan siaran radio rohani Katolik lalu masak dan mencuci baju, serta adik bungsu yang bangun jam setengah 6 pagi lalu mandi, sarapan, dan berangkat sekolah. Saya juga menjadi terbiasa untuk tidur jam 11–diusahakan–dan bangun jam 4 pagi untuk kemudian berangkat kuliah jam 6 kurang demi mengejar kelas jam 8 di kampus UI Depok. Rutinitas yang awalnya sempat ragu bisa saya jalankan, pada akhirnya berhasil berjalan. Meskipun kadang malas untuk bangun pagi dan berangkat kuliah, nggak ada perasaan yang lebih menyenangkan daripada menyadari bahwa pulang kuliah nanti saya akan langsung disambut makanan di meja makan dan kasur rumah yang empuk. Berbeda sekali dengan zaman ngekos dulu yang mengharuskan saya menyiapkan makan sendiri.

Walaupun akhirnya rencana saya untuk lulus kuliah di semester ini ditunda karena satu dan lain hal, saya tetap nggak menyesali keputusan saya untuk ‘kembali’ ke rumah. Bercerita dengan Mama, Papa, dan adik–sesuatu yang awalnya terasa janggal karena saya memang nggak suka bercerita dengan anggota keluarga inti–kini menjadi suatu rutinitas baru untuk melepaskan beban pikiran dan berbagi canda tawa. Saya pun juga harus melatih diri untuk lebih sabar menghadapi Papa yang kerjaannya makan melulu. Bukan apa-apa, kami sekeluarga nggak mau Papa sampai sakit stroke untuk yang keempat kalinya. Ya, empat. Nggak lupa juga menyambut perasaan bahagia di hari-hari tertentu karena adik saya yang berkuliah di Jatinangor kembali sehingga kami tiga bersaudara bisa tidur di satu kasur dan berbagi cerita sebelum tidur.

Kuliah memang masih 1,5 semester lagi, tapi saya bahagia bisa kembali ke rumah meski harus beradaptasi kembali. Menyadari bahwa sekarang nggak ada lagi tempat berlari selain kamar belajar adik bungsu di lantai atas, saya belajar bahwa segala sesuatunya nggak selalu bisa dibawa lari. Ada kalanya saya harus menyelesaikan semuanya sendiri–di sini–di rumah ini. Dan di sini pula saya tengah berada dengan sebuah proses yang bernama adaptasi.

One thought on “Proses yang Bernama Adaptasi”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *