Lagi-lagi aku terhenyak, membiarkan kedua mataku terpejam menghadap langit.
Kilau cahaya masih terasa hangat di kedua kelopak mata.
Kali ini, kuputar lagi perekam waktu di kepala.
Masih, masih ada yang tersisa, bahkan mungkin terlalu banyak.
Ah, kenapa begini? Kenapa isi otakku seperti sampah semua?
Harumnya bunga matahari yang terbakar terik mentari bahkan sudah tak pernah lagi kunikmati, hmmm…
Sobat, aku terlalu banyak mengeluh, terlalu banyak melenguh, terlalu banyak mendesah.
Kini aku membuka mata, membiarkan silaunya matahari menusuk langsung kedua mataku,
kedua mata yang selama ini terlalu buta,
kedua mata yang tidak bisa menuntun setiap langkahku.
Hidup ini terlalu berarti.
Hidup ini terlalu ramah, bahkan untuk aku yang selalu marah.