Tulisan Kebencian

Tulisan Kebencian

Saya cukup mual begitu membaca tulisan saya ini. Begitu banyak kebencian dan dendam yang saya tumpahkan dalam sebuah tulisan pendek. Saya menghabiskan energi yang begitu besar untuk memendamnya, hingga akhirnya menuangkan semua itu pada sebuah tulisan.

Tulisan yang berjudul “Ketika Aku Merasa Perlu” ini saya buat untuk Writing Session dengan tema “Balas Dendam”. Dari tulisan ini saya belajar memaafkan. Memaafkan keadaan dan diri saya sendiri. Saya masih dan akan terus belajar.

Sisa Hujan

Bersenandung sore menikmati sisa-sisa hujan di kaca jendela
Berdansa bersama tetes-tetes hujan yang masih ada di dedaunan

Tertawa menatap langit sembari berharap tidak segera menjadi gila
Hingga akhirnya memandangi tanah basah bersama cacing-cacing yang menggeliat

Kembang dan kumbang sama-sama basah kuyup
Semut masih mengantre sembako di rumah yang entah milik siapa

Semuanya sibuk mencari
Tiap-tiap dari mereka begitu senang menyibukkan diri

Sementara aku sebentar lagi akan terlelap
Entah sampai kapan

Apa tidak usah bangun lagi?

Cerita Tentang Kerinduan

Apa yang kamu cari dari kerinduan?
Mengapa jarak begitu diperhitungkan?
Sementara perasaan terkadang begitu mudah diabaikan
Karena bagiku semua sama
Karena bagiku semua sia-sia

Yang di sana menutupi wajahnya
Menghindar dari seseorang di tempat lain
Seakan-akan mau kabur
Seperti seorang buronan yang ketakutan
Ketakutan akan keputusannya sendiri

Apa yang kamu harapkan dari kerinduan?
Sebuah pelukankah?
Sebuah kecupankah?
Atau hanya sebuah senyuman yang bisa kembali membuka luka?

Lalu aku pun memutuskan untuk sembunyi
Dan juga bernyanyi
Di malam sepi tanpa berusaha berlari

Melepas Pergi

Aku menutup mata.
Kembali di pelukan bukan lagi hal yang sama.

Pernahkah kamu berhenti mencari?
Mencari potongan yang ternyata tak pernah hilang?

Pelukan yang lama terasa hangat kini sudah mendingin.
Semua itu berasal dari aku, aku yang tergopoh-gopoh melangkah.

Melangkah menjauh.
Melangkah pergi.

Di bawah sang surya aku kembali menutup mata.
Merasakan teriknya sampai pudar.

Aku membakar kenangan, aku menghanguskan kepergian.
Aku merelakan, aku membiarkan.

Membawa Keraguan

Ketika keraguan ini dibawa, tidak ada hal lain yang ingin aku lakukan selain menenggelamkan diri.

Ini adalah waktu yang sama sekali berbeda. Waktu di mana aku benar-benar merasa ragu. 

Di suatu siang, aku menerima sebuah e-mail dari salah seorang temanku di AS, namanya Sonja Basha. Kepada tiga belas peserta Young Women Leadership Training 2012 (YWLT 2012), Sonja mengirimkan beberapa buah pertanyaan sebagai bentuk refleksi akhir tahun.

Beberapa pertanyaannya pun membuatku terhenyak.

Apakah aku sudah benar-benar melakukan semuanya? Apakah tidak akan ada lagi penyesalan?

Yang jelas, aku belum benar-benar sanggup menjawab pertanyaan itu.

Dan malam ini, aku dikejutkan dengan pesan lain, sebuah pesan dari pasangan Sonja Basha, yaitu Barbara Jefferson.

Barbara menanyakan kabarku, karena katanya beberapa waktu belakangan aku muncul dalam pikirannya. 

Aku bingung.

Apakah aku benar-benar telah membawa keraguan? Bahkan membawanya pada teman-teman terdekatku juga…?

Memori Bu Rahmi

Aku bisa mendengar Hymne Guru terdengar jelas di kedua telingaku. Dinyanyikan oleh kelompok paduan suara sekolahku dengan begitu langkah dan merdu. Hari ini hari Pahlawan, 10 November.

Sudah berbulan-bulan lamanya kami merencanakan perayaan Hari Pahlawan bersama para anggota OSIS. Kami ingin memberikan penghargaan untuk semua guru yang telah menjadi pahlawan penyalur ilmu yang tak ternilai bagi semua siswa-siswinya.

Guru yang paling kufavoritkan adalah Ibu Rahmi. Parasnya cantik, kulitnya putih bersih, dan yang pasti, beliau tidak pernah berhenti tersenyum.

Aku ingat bagaimana aku pernah bertanya satu kali pada Bu Rahmi, “Bu, kenapa Ibu nggak pernah marah sama sekali pada kami? Padahal kan, kami itu bandel banget.”
Semula, ia tertawa kecil begitu mendengar pertanyaanku. “Emangnya kenapa, Sy?” Tanyanya balik.

Aku menggeleng lalu mengangkat bahu. “Ngng… Nggak, nggak apa-apa, Bu. Saya hanya mau tahu saja.” Aku memaksakan senyum dan langsung mengerutkan dahi.

“Ah, kamu ini.” Bu Rahmi menepuk bahuku, kemudian tertawa lagi.

Tawa Bu Rahmi begitu khas, tidak mungkin dengan mudah aku melupakannya.

“Kalian kan masih remaja, wajarlah kalian nakal. Lagipula, untuk apa Ibu marah? Buang-buang energi saja.”

Sampai hari ini, aku tidak pernah lupa jawaban Bu Rahmi. Jawaban mengapa ia tidak pernah marah.

~

Bisa-bisanya aku bengong di tengah perayaan Hari Pahlawan yang begitu meriah.

“Hari ini kita juga akan memberikan penghargaan bagi Alm.Ibu Rahmi Puspa Dewi yang telah pergi setahun yang lalu. Terima kasih atas energi positif, senyum, dan tawa yang pernah dan telah diberikannya pada kita semua selama Beliau mengajar di sini.”

Aku menitikkan air mata. Bapak kepala sekolah memang benar, meskipun Bu Rahmi telah pergi setahun yang lalu, tapi segala yang diberikannya telah memberikan banyak pengaruh bagi kami. Terima kasih, Bu.

~

Cerita ini dipersembahkan untuk Alm.Bu Endah, guru SMA-ku.

Absurditas

Absurditas itu hadir ketika kamu mulai merasa asing di antara semua yang kamu kira kamu kenal. Semua yang kamu kira kamu benar-benar pahami dan mengerti.

Lagi-lagi, mungkin bukan kamu, tapi aku.

Absurditas bisa muncul dari sebuah keterkejutan…..atau lebih? Menemukan hal-hal yang tidak pernah terasa nyata, hingga akhirnya benar-benar terjadi.

Pandanganku buram, rasanya begitu suram, dan hatiku langsung muram. Aku tidak bermain rima di sini…..atau memang bermain rima?

Dan lagi, absurditas kembali terjadi.

Semuanya tidak bisa terdefinisi. Semuanya tidak ada yang pasti. Mataku masih mencari-cari. Hatiku masih berusaha menari. Mencari-cari celah untuk tetap bisa bergembira….. Sedikit saja.

Selamat siang.

Pernahkah?

Pernahkah kamu merasakan sebuah perasaan yang seperti ini? Ketika kamu berada di rumah, rasanya tidak seperti pulang ke rumah. Ada yang asing, banyak yang bikin pusing. Dan ketika kamu jauh dari rumah, rasanya justru jauh lebih lega.

Tapi tanpa sadar, ada kesalahan yang kamu buat. Kamu telah membiarkan orang-orang di rumahmu menanggung bebannya sendiri.

Ini yang tengah aku rasakan. Aku merasa asing. Aku merasa jauh.