Adakah Dia yang Kebetulan?

Bagi kamu yang tidak percaya dengan keberadaannya, mungkin aku tidak bisa bicara apa-apa. Semua itu kan pandangan masing-masing dari kita. Pandanganku, pandanganmu. Ya, berbeda. Lagipula, siapa sih kebetulan itu? Hmm…

Jujur, aku juga tidak kenal betul siapa dia. Tapi, dia lah yang menghantarkanku ke waktu sekarang, yang menghantarkanku ke momen-momen yang sama sekali tidak terduga. Dia memberiku ribuan kejutan setiap harinya, memberiku kesempatan, dan terkadang malah teka-teki.

Adakah dia yang kebetulan? Jujur, aku pun bingung. Tapi, aku hampir selalu percaya ada yang namanya kebetulan. Kebetulan yang mempertemukan, kebetulan yang mengikhlaskan, dan kebetulan yang mengajarkan banyak hal.

Kebetulan mungkin dimaknai sebagian orang sebagai dia yang datang dan pergi begitu saja, iseng katanya. Sebaliknya, aku lebih mempercayai keberadaanya untuk satu tujuan. Tujuan yang jelas akan membawaku ke misteri-misteri lain. Misteri-misteri yang akan segera datang, segera berjumpa denganku.

Begitu pula dengan setiap perjumpaan yang sering kumaknai sebagai sebuah kebetulan. Bertemu denganmu, kamu yang bertemu denganku, aku bertemu dengan kalian, kami yang bertemu dengan Anda, aku yang bertemu dengan Dia, dan kamu yang bertemu dengan Dia.

Setiap perjumpaan memberikan makna. Setiap kebetulan memberikan cerita. Semua itu untuk kejutan-kejutan lainnya.

Sekelibat Saja

Pikiran ini muncul, sekelibat saja.
Semua ini begitu nyata, sekaligus begitu semu.
Akukah satu-satunya orang yang merasa begitu?

Orang bilang, ini adalah sebuah perasaan yang sepatutnya memberikan kebahagiaan.
Sebaliknya, perasaan ini justru memberikan kegelisahan.

Ah, lagi-lagi, sekelibat saja.
Kuingat betul gesturmu.
Kuingat betul tuturmu.
Kuingat betul berjumpa denganmu.

Lagi-lagi, sekelibat saja.
Dan lebih baik, aku tidur saja.

Selamat Pagi

Aku membuka pagi dengan segelas susu hangat. Bukan, bukan secangkir teh hangat. Belum, belum saatnya. Masih terlalu pagi. Susu membuatku ingin tidur lagi dan secangkir teh membuatku ingin bangun terus.

Mataku menerawang. Mencari sisa-sisa mimpi yang kuhela semalam. Tidak ada satu momen pun yang bisa teringat jelas. Sayang sekali.

Hidup ini begitu absurd, sampai terkadang aku bingung untuk memaknainya. Ada kalanya ketika aku bangun, semuanya terlihat sebening kristal. Jernih. Namun ada kalanya juga ketika aku bangun, yang ada hanyalah sebuah pintu dengan ruangan yang gelap, gelap sekali, hingga aku tidak bisa melihat cahaya sama sekali.

Sementara, waktu terus berjalan. Nanti akan tiba saatnya aku lulus dan bekerja. Juga tiba saatnya aku akan ditanya kapan menikah. Lalu ketika aku sudah menikah, aku akan ditanya lagi, kapan aku akan memiliki anak dari rahimku sendiri. Dan begitu aku sudah memiliki anak atau mungkin beberapa orang anak, kemudian aku akan tinggal bersama keluargaku–menua dan mati.

Apakah hidup ini hanya berkisah tentang kehidupan dan kematian? Tidak bisakah aku membuatnya bermakna? Jujur, aku masih bertanya-tanya.

Jika hidup ini cuma dongeng tentang hidup dan mati, ya lebih baik mati saja. Aku toh, sudah pernah hidup di dunia ini.

Tapi… Tidak, tidak. Hidup ini bukan cuma itu. Bukan hanya sebuah cerita tentang helaan nafas yang membuatmu hidup… Bukan cuma tentang sekotak peti mati.

Setidaknya, hidup ini berarti memori. Memori yang terus menari-nari. Dan aku bukan robot. Aku tidak mau menjadi robot yang menjalani rutinitas monoton demi hidup yang tidak memiliki makna.

Aku ingin melihat dunia. Aku ingin bertemu orang-orang hebat. Aku ingin menambahkan banyak memori di otakku, hingga otakku tidak sanggup lagi menerimanya.

Setidaknya, sebelum aku mati.

Malam

Malam yang dingin, aku mengaduh.
Tidak ada suara riuh, tapi tak juga sepi sendiri.

Angin bertiup, ingin melelapkan yang masih terbangun.

Dingin, dingin.
Kini aku merintih.

Tak ada pelukan, tak ada bisikan.
Aku benar-benar sendirian.

Mengapa harus merintih?
Tidak ada luka, kan?

Benar juga.

Malam menuju pagi.
Aku tak bisa tidur lagi.

Malam ini begitu dingin.
Terlalu dingin.

Ah

Terkadang ada saatnya aku merasa tidak kenal dengan sekitarku, dengan identitasku.
Tapi ada saatnya juga aku merasa terlalu kenal, terlalu menyatu.

Aku ingin berbaring di sini, menangisi hari.
Aku ingin bangkit, menahan sakit.
Aku ingin, aku ingin…
Terlalu banyak yang rasa ingin.

Ah, aku terlalu banyak berpikir.
Iya, kan?
Dan lagi, aku bertanya sambil berpikir.

Otak, berhentilah berputar.
Otak, berhentilah meracau.

Aku tidak mau punya otak.
Aku punya otak.
Aku mau punya otak.

Aku, aku.

Ah, sudahlah.

Mendung Pagi

Lagi-lagi, gerimis memerciki tempatku berpijak. Hari ini hari Rabu, masih terasa kelabu seperti Senin yang lalu. Bedanya, saat ini aku tengah dalam perjalanan menuju ‘rumahku’ yang lain.

Begitu cepat waktu berlalu, begitu banyak yang dilewati–tanpa kita sadari. Oke, mungkin hanya aku yang tidak menyadari.

Waktu adalah seekor burung yang tidak memiliki sayap, namun menjadi burung yang tercepat; dalam hal terbang. Sampai-sampai aku tidak pernah bisa melihat wujudnya, melihat si waktu.

Aku tidak memintanya terbang kembali, kembali ke masa lampau, aku hanya ingin ia menungguku sebentar saja. Bagaimana? Ah, bertemu dengannya saja sulit, bagaimana aku bisa memintanya menunggu?

Ya, ya, waktu tidak pernah menunggu, kawan. Itu artinya, aku yang harus mengejar. Aku harus mengejar langkahnya agar bisa berjalan beriringan. Berjalan berdampingan, seperti sepasang mempelai menuju altar gereja. Lalu mereka berakhir bahagia… Indah sepertinya.

Aku ingat perbincangan dengan seorang kawan, bila kami benar-benar memiliki kesempatan untuk bertatap muka dengan waktu… Hmm, rasanya kami ingin menghunus jantungnya dengan belati yang takkan berhenti kami asah sebelum perjumpaan itu. Jahat? Memang. Tapi, waktu selama ini sudah terlalu kejam pada kami.

Atau mungkin, kami–atau aku yang terlalu banyak protes padanya? Terlalu sinis padanya?

Yang jelas, waktu bergulir begitu cepat. Ia terbang terlalu cepat. Hingga kadang aku tidak bisa menghitung berapa detik yang kupunya untuk mengedipkan mata.

Selamat pagi hari kelabu. Selamat pagi yang masih sendu. Oh, itu aku. Atau kamu?

Rintik Hujan

Sore ini terasa berbeda, rintik hujan mengejar langkahku. Tidak biasanya aku buru-buru pulang karena hujan. Biasanya aku lebih suka duduk-duduk menunggu rintiknya turun hingga lelah sendiri dan berhenti membasahi tanah.

Warna langit begitu kelabu, mungkin juga suasana hatiku. Atau malah hatimu?

Perlahan aku memejamkan mata, membiarkan aroma tanah, hujan, dan angin masuk ke indera penciumanku.

Lambat laun aku sadar, hujan indah juga. Sejuk. Meski aku lebih sering membencinya karena matahari yang menyengat selalu lebih bersahabat–setidaknya, bagiku.

Terima kasih, hujan. Terima kasih untuk sore yang sejuk tadi.

Perenungan Hari Ini

Rasa jenuh ini sudah kian memuncak, seperti amarah yang harusnya dilepaskan. Banyak sekali hal yang mengganggu pikiran, terlalu banyak yang terus dirasakan.

Oke, mungkin aku berlebihan… Tapi, aku bukanlah satu-satunya orang yang terlalu banyak berpikir dan terlalu menjadi perasa. Iya, kan?

Begini toh rasanya menjadi orang dewasa? Hahaha… Koreksi, aku belum sepenuhnya menjadi orang dewasa, usiaku baru 20. Lagi-lagi… Iya, kan?

Hari-hari ini kuhabiskan untuk banyak hal yang penting dan tidak penting. Hal-hal penting seperti kuliah, membaca, bermain biola, menulis, dan memikirkan langkah demi langkah yang harus kutempuh. Sementara hal yang tidak penting… Hmm… adalah mengeluh dan merengut. Kedua hal tidak penting ini begitu sering kulakukan beberapa waktu belakangan. Yang artinya… Puncak kejenuhanku membawaku pada dunia hitam.

Oke, ini baru berlebihan.

Kini aku menengok ke belakang, melihat jejak-jejak kaki mungilku yang masih tersisa di tanah. Hidupku masih terlalu indah, lho. Aku selama ini terlalu sibuk mengeluh dan menyesali apa yang pernah terjadi.

Oke, aku tahu ini tidak baik.

Tapi, semua ini proses. Benar, kan?

Daripada aku sibuk menggerutui tugas-tugas kuliah yang menggunung dan tidak tuntas juga, lebih baik aku langsung mengerjakannya. Dan sesingkat sebuah petikan jari, tugas-tugas itu akan selesai.

Di luar semua itu, aku mau bersyukur untuk buanyaaaaak hal. Boleh, ya? 🙂

Pertama, karena sekarang kesehatanku sudah jauh sekali membaik. Setelah perjuangan yang berat melawan berat badan yang naik, alergi-alergi, berbagai penyakit bandel seperti tifus, campak Jerman, dan DBD… Akhirnya aku masih hidup! Haha… Sesimpel itu, kan? Apalagi, sekarang aku sudah bisa begadang sampe jam 6 pagi… Rekor tergila! Hahahaha…

Oke, maaf ya kalau tidak penting.

Yang jelas, aku sekarang sudah jauh lebih sehat!

Kedua, aku kembali menulis! Impianku untuk bisa menerbitkan buku sudah cukup dekat. Dan ya, untuk menulis blog lagi rasanya amat membahagiakan. Berbagi perasaan, meski belum tahu juga siapa yang akan membaca coretan-coretanku. Yang jelas, aku bahagia!

Ketiga, aku sudah banyak sekali belajar hal-hal dari yang termungil sampai terraksasa (kosakata baru). Aku belajar bahasa baru, Italia dan Jerman dari kampus! Lalu aku kembali bermain biola, belajar bermain dengan lebih yakin dan percaya diri, bermain bersama teman-teman baru.

Keempat, aku begitu bahagia karena aku dikelilingi begitu banyak orang-orang yang peduli dan sayang padaku. Sesimpel itu, sih. Tapi, tidak sesimpel itu… karena aku dihujani perhatian dan kasih sayang.

Begitu banyak juga orang baru yang datang ke duniaku, bersamaan dengan orang yang pergi dari duniaku. Terima kasih ya, untuk kalian semua.

Kira-kira beginilah.

Di luar semua hal yang menjenuhkan, sisanya masih banyak yang membahagiakan.

Mari kita mengangkasa, melihat langit biru. Warnanya begitu indah, janganlah kita merusakanya dengan awan hitam. Jangan, ya?

Selamat senja! 🙂

Boleh, ya?

Mataku mengalirkan air mata, meski aku tidak mau mereka membasahi pipi.

Bolehkah aku tetap di sini?

Aku masih ingin sendiri, mencari-cari sisa rasa perih.

Ah, kamu tahu kan kalau aku masih terlalu sedih?

Betapa aku masih merintih?

Sakit, sakit, sakit

Aku ingin menjerit

 

Kamu bisa bilang aku gila,

Tapi kamu tidak bisa berbuat apa-apa

 

Hai, kamu

Ini semua karena rindu

Ya, aku rindu kamu

Dan wajahku nampak begitu sendu,

Ditemani oleh rasa pilu.

 

Jadi, boleh ya aku merindu?

Boleh ya aku bersedih?

Sebentar saja.

Ya?

Doa Malam Ini

Bapa,

kudengar malam ini banyak sekali yang kehilangan.

Begitu juga dengan aku, aku kehilangan lagi satu hari dalam hidupku.

 

Bapa, aku tidak pernah meminta umur yang panjang,

aku tidak pernah meminta kesempurnaan.

 

Tapi, bolehkah aku berdoa meminta sesuatu malam ini saja?

 

Berkatilah setiap langkahku,

lindungilah orang-orang di sekitarku,

rangkullah mereka di dalam pelukan-Mu.

 

Bapa,

kerinduan ini terkadang masih ada,

aku rindu berada bersama-Mu, aku rindu dengan mereka yang sudah di sisi-Mu,

tapi aku tahu sekarang bukanlah waktuku.

 

Bapa,

ajarilah aku malam ini,

ajarilah aku untuk mengampuni,

ajarilah aku untuk mengasihi,

sesederhana itu saja.

 

Bapa,

terima kasih untuk hari ini,

terima kasih untuk hidup ini.

 

Dan bilamana aku harus menghadap engkau,

biarlah aku dalam keadaan siap,

siap meninggalkan semuanya yang ada di sini.

 

Amin.

 

Selamat malam, Bapa.