Membawa Keraguan

Ketika keraguan ini dibawa, tidak ada hal lain yang ingin aku lakukan selain menenggelamkan diri.

Ini adalah waktu yang sama sekali berbeda. Waktu di mana aku benar-benar merasa ragu. 

Di suatu siang, aku menerima sebuah e-mail dari salah seorang temanku di AS, namanya Sonja Basha. Kepada tiga belas peserta Young Women Leadership Training 2012 (YWLT 2012), Sonja mengirimkan beberapa buah pertanyaan sebagai bentuk refleksi akhir tahun.

Beberapa pertanyaannya pun membuatku terhenyak.

Apakah aku sudah benar-benar melakukan semuanya? Apakah tidak akan ada lagi penyesalan?

Yang jelas, aku belum benar-benar sanggup menjawab pertanyaan itu.

Dan malam ini, aku dikejutkan dengan pesan lain, sebuah pesan dari pasangan Sonja Basha, yaitu Barbara Jefferson.

Barbara menanyakan kabarku, karena katanya beberapa waktu belakangan aku muncul dalam pikirannya. 

Aku bingung.

Apakah aku benar-benar telah membawa keraguan? Bahkan membawanya pada teman-teman terdekatku juga…?

Absurditas

Absurditas itu hadir ketika kamu mulai merasa asing di antara semua yang kamu kira kamu kenal. Semua yang kamu kira kamu benar-benar pahami dan mengerti.

Lagi-lagi, mungkin bukan kamu, tapi aku.

Absurditas bisa muncul dari sebuah keterkejutan…..atau lebih? Menemukan hal-hal yang tidak pernah terasa nyata, hingga akhirnya benar-benar terjadi.

Pandanganku buram, rasanya begitu suram, dan hatiku langsung muram. Aku tidak bermain rima di sini…..atau memang bermain rima?

Dan lagi, absurditas kembali terjadi.

Semuanya tidak bisa terdefinisi. Semuanya tidak ada yang pasti. Mataku masih mencari-cari. Hatiku masih berusaha menari. Mencari-cari celah untuk tetap bisa bergembira….. Sedikit saja.

Selamat siang.

Pernahkah?

Pernahkah kamu merasakan sebuah perasaan yang seperti ini? Ketika kamu berada di rumah, rasanya tidak seperti pulang ke rumah. Ada yang asing, banyak yang bikin pusing. Dan ketika kamu jauh dari rumah, rasanya justru jauh lebih lega.

Tapi tanpa sadar, ada kesalahan yang kamu buat. Kamu telah membiarkan orang-orang di rumahmu menanggung bebannya sendiri.

Ini yang tengah aku rasakan. Aku merasa asing. Aku merasa jauh.

Adakah Dia yang Kebetulan?

Bagi kamu yang tidak percaya dengan keberadaannya, mungkin aku tidak bisa bicara apa-apa. Semua itu kan pandangan masing-masing dari kita. Pandanganku, pandanganmu. Ya, berbeda. Lagipula, siapa sih kebetulan itu? Hmm…

Jujur, aku juga tidak kenal betul siapa dia. Tapi, dia lah yang menghantarkanku ke waktu sekarang, yang menghantarkanku ke momen-momen yang sama sekali tidak terduga. Dia memberiku ribuan kejutan setiap harinya, memberiku kesempatan, dan terkadang malah teka-teki.

Adakah dia yang kebetulan? Jujur, aku pun bingung. Tapi, aku hampir selalu percaya ada yang namanya kebetulan. Kebetulan yang mempertemukan, kebetulan yang mengikhlaskan, dan kebetulan yang mengajarkan banyak hal.

Kebetulan mungkin dimaknai sebagian orang sebagai dia yang datang dan pergi begitu saja, iseng katanya. Sebaliknya, aku lebih mempercayai keberadaanya untuk satu tujuan. Tujuan yang jelas akan membawaku ke misteri-misteri lain. Misteri-misteri yang akan segera datang, segera berjumpa denganku.

Begitu pula dengan setiap perjumpaan yang sering kumaknai sebagai sebuah kebetulan. Bertemu denganmu, kamu yang bertemu denganku, aku bertemu dengan kalian, kami yang bertemu dengan Anda, aku yang bertemu dengan Dia, dan kamu yang bertemu dengan Dia.

Setiap perjumpaan memberikan makna. Setiap kebetulan memberikan cerita. Semua itu untuk kejutan-kejutan lainnya.

Sekelibat Saja

Pikiran ini muncul, sekelibat saja.
Semua ini begitu nyata, sekaligus begitu semu.
Akukah satu-satunya orang yang merasa begitu?

Orang bilang, ini adalah sebuah perasaan yang sepatutnya memberikan kebahagiaan.
Sebaliknya, perasaan ini justru memberikan kegelisahan.

Ah, lagi-lagi, sekelibat saja.
Kuingat betul gesturmu.
Kuingat betul tuturmu.
Kuingat betul berjumpa denganmu.

Lagi-lagi, sekelibat saja.
Dan lebih baik, aku tidur saja.

Selamat Pagi

Aku membuka pagi dengan segelas susu hangat. Bukan, bukan secangkir teh hangat. Belum, belum saatnya. Masih terlalu pagi. Susu membuatku ingin tidur lagi dan secangkir teh membuatku ingin bangun terus.

Mataku menerawang. Mencari sisa-sisa mimpi yang kuhela semalam. Tidak ada satu momen pun yang bisa teringat jelas. Sayang sekali.

Hidup ini begitu absurd, sampai terkadang aku bingung untuk memaknainya. Ada kalanya ketika aku bangun, semuanya terlihat sebening kristal. Jernih. Namun ada kalanya juga ketika aku bangun, yang ada hanyalah sebuah pintu dengan ruangan yang gelap, gelap sekali, hingga aku tidak bisa melihat cahaya sama sekali.

Sementara, waktu terus berjalan. Nanti akan tiba saatnya aku lulus dan bekerja. Juga tiba saatnya aku akan ditanya kapan menikah. Lalu ketika aku sudah menikah, aku akan ditanya lagi, kapan aku akan memiliki anak dari rahimku sendiri. Dan begitu aku sudah memiliki anak atau mungkin beberapa orang anak, kemudian aku akan tinggal bersama keluargaku–menua dan mati.

Apakah hidup ini hanya berkisah tentang kehidupan dan kematian? Tidak bisakah aku membuatnya bermakna? Jujur, aku masih bertanya-tanya.

Jika hidup ini cuma dongeng tentang hidup dan mati, ya lebih baik mati saja. Aku toh, sudah pernah hidup di dunia ini.

Tapi… Tidak, tidak. Hidup ini bukan cuma itu. Bukan hanya sebuah cerita tentang helaan nafas yang membuatmu hidup… Bukan cuma tentang sekotak peti mati.

Setidaknya, hidup ini berarti memori. Memori yang terus menari-nari. Dan aku bukan robot. Aku tidak mau menjadi robot yang menjalani rutinitas monoton demi hidup yang tidak memiliki makna.

Aku ingin melihat dunia. Aku ingin bertemu orang-orang hebat. Aku ingin menambahkan banyak memori di otakku, hingga otakku tidak sanggup lagi menerimanya.

Setidaknya, sebelum aku mati.

Malam

Malam yang dingin, aku mengaduh.
Tidak ada suara riuh, tapi tak juga sepi sendiri.

Angin bertiup, ingin melelapkan yang masih terbangun.

Dingin, dingin.
Kini aku merintih.

Tak ada pelukan, tak ada bisikan.
Aku benar-benar sendirian.

Mengapa harus merintih?
Tidak ada luka, kan?

Benar juga.

Malam menuju pagi.
Aku tak bisa tidur lagi.

Malam ini begitu dingin.
Terlalu dingin.

Ah

Terkadang ada saatnya aku merasa tidak kenal dengan sekitarku, dengan identitasku.
Tapi ada saatnya juga aku merasa terlalu kenal, terlalu menyatu.

Aku ingin berbaring di sini, menangisi hari.
Aku ingin bangkit, menahan sakit.
Aku ingin, aku ingin…
Terlalu banyak yang rasa ingin.

Ah, aku terlalu banyak berpikir.
Iya, kan?
Dan lagi, aku bertanya sambil berpikir.

Otak, berhentilah berputar.
Otak, berhentilah meracau.

Aku tidak mau punya otak.
Aku punya otak.
Aku mau punya otak.

Aku, aku.

Ah, sudahlah.

Mendung Pagi

Lagi-lagi, gerimis memerciki tempatku berpijak. Hari ini hari Rabu, masih terasa kelabu seperti Senin yang lalu. Bedanya, saat ini aku tengah dalam perjalanan menuju ‘rumahku’ yang lain.

Begitu cepat waktu berlalu, begitu banyak yang dilewati–tanpa kita sadari. Oke, mungkin hanya aku yang tidak menyadari.

Waktu adalah seekor burung yang tidak memiliki sayap, namun menjadi burung yang tercepat; dalam hal terbang. Sampai-sampai aku tidak pernah bisa melihat wujudnya, melihat si waktu.

Aku tidak memintanya terbang kembali, kembali ke masa lampau, aku hanya ingin ia menungguku sebentar saja. Bagaimana? Ah, bertemu dengannya saja sulit, bagaimana aku bisa memintanya menunggu?

Ya, ya, waktu tidak pernah menunggu, kawan. Itu artinya, aku yang harus mengejar. Aku harus mengejar langkahnya agar bisa berjalan beriringan. Berjalan berdampingan, seperti sepasang mempelai menuju altar gereja. Lalu mereka berakhir bahagia… Indah sepertinya.

Aku ingat perbincangan dengan seorang kawan, bila kami benar-benar memiliki kesempatan untuk bertatap muka dengan waktu… Hmm, rasanya kami ingin menghunus jantungnya dengan belati yang takkan berhenti kami asah sebelum perjumpaan itu. Jahat? Memang. Tapi, waktu selama ini sudah terlalu kejam pada kami.

Atau mungkin, kami–atau aku yang terlalu banyak protes padanya? Terlalu sinis padanya?

Yang jelas, waktu bergulir begitu cepat. Ia terbang terlalu cepat. Hingga kadang aku tidak bisa menghitung berapa detik yang kupunya untuk mengedipkan mata.

Selamat pagi hari kelabu. Selamat pagi yang masih sendu. Oh, itu aku. Atau kamu?