Rintik Hujan

Sore ini terasa berbeda, rintik hujan mengejar langkahku. Tidak biasanya aku buru-buru pulang karena hujan. Biasanya aku lebih suka duduk-duduk menunggu rintiknya turun hingga lelah sendiri dan berhenti membasahi tanah.

Warna langit begitu kelabu, mungkin juga suasana hatiku. Atau malah hatimu?

Perlahan aku memejamkan mata, membiarkan aroma tanah, hujan, dan angin masuk ke indera penciumanku.

Lambat laun aku sadar, hujan indah juga. Sejuk. Meski aku lebih sering membencinya karena matahari yang menyengat selalu lebih bersahabat–setidaknya, bagiku.

Terima kasih, hujan. Terima kasih untuk sore yang sejuk tadi.

Perenungan Hari Ini

Rasa jenuh ini sudah kian memuncak, seperti amarah yang harusnya dilepaskan. Banyak sekali hal yang mengganggu pikiran, terlalu banyak yang terus dirasakan.

Oke, mungkin aku berlebihan… Tapi, aku bukanlah satu-satunya orang yang terlalu banyak berpikir dan terlalu menjadi perasa. Iya, kan?

Begini toh rasanya menjadi orang dewasa? Hahaha… Koreksi, aku belum sepenuhnya menjadi orang dewasa, usiaku baru 20. Lagi-lagi… Iya, kan?

Hari-hari ini kuhabiskan untuk banyak hal yang penting dan tidak penting. Hal-hal penting seperti kuliah, membaca, bermain biola, menulis, dan memikirkan langkah demi langkah yang harus kutempuh. Sementara hal yang tidak penting… Hmm… adalah mengeluh dan merengut. Kedua hal tidak penting ini begitu sering kulakukan beberapa waktu belakangan. Yang artinya… Puncak kejenuhanku membawaku pada dunia hitam.

Oke, ini baru berlebihan.

Kini aku menengok ke belakang, melihat jejak-jejak kaki mungilku yang masih tersisa di tanah. Hidupku masih terlalu indah, lho. Aku selama ini terlalu sibuk mengeluh dan menyesali apa yang pernah terjadi.

Oke, aku tahu ini tidak baik.

Tapi, semua ini proses. Benar, kan?

Daripada aku sibuk menggerutui tugas-tugas kuliah yang menggunung dan tidak tuntas juga, lebih baik aku langsung mengerjakannya. Dan sesingkat sebuah petikan jari, tugas-tugas itu akan selesai.

Di luar semua itu, aku mau bersyukur untuk buanyaaaaak hal. Boleh, ya? 🙂

Pertama, karena sekarang kesehatanku sudah jauh sekali membaik. Setelah perjuangan yang berat melawan berat badan yang naik, alergi-alergi, berbagai penyakit bandel seperti tifus, campak Jerman, dan DBD… Akhirnya aku masih hidup! Haha… Sesimpel itu, kan? Apalagi, sekarang aku sudah bisa begadang sampe jam 6 pagi… Rekor tergila! Hahahaha…

Oke, maaf ya kalau tidak penting.

Yang jelas, aku sekarang sudah jauh lebih sehat!

Kedua, aku kembali menulis! Impianku untuk bisa menerbitkan buku sudah cukup dekat. Dan ya, untuk menulis blog lagi rasanya amat membahagiakan. Berbagi perasaan, meski belum tahu juga siapa yang akan membaca coretan-coretanku. Yang jelas, aku bahagia!

Ketiga, aku sudah banyak sekali belajar hal-hal dari yang termungil sampai terraksasa (kosakata baru). Aku belajar bahasa baru, Italia dan Jerman dari kampus! Lalu aku kembali bermain biola, belajar bermain dengan lebih yakin dan percaya diri, bermain bersama teman-teman baru.

Keempat, aku begitu bahagia karena aku dikelilingi begitu banyak orang-orang yang peduli dan sayang padaku. Sesimpel itu, sih. Tapi, tidak sesimpel itu… karena aku dihujani perhatian dan kasih sayang.

Begitu banyak juga orang baru yang datang ke duniaku, bersamaan dengan orang yang pergi dari duniaku. Terima kasih ya, untuk kalian semua.

Kira-kira beginilah.

Di luar semua hal yang menjenuhkan, sisanya masih banyak yang membahagiakan.

Mari kita mengangkasa, melihat langit biru. Warnanya begitu indah, janganlah kita merusakanya dengan awan hitam. Jangan, ya?

Selamat senja! 🙂

Boleh, ya?

Mataku mengalirkan air mata, meski aku tidak mau mereka membasahi pipi.

Bolehkah aku tetap di sini?

Aku masih ingin sendiri, mencari-cari sisa rasa perih.

Ah, kamu tahu kan kalau aku masih terlalu sedih?

Betapa aku masih merintih?

Sakit, sakit, sakit

Aku ingin menjerit

 

Kamu bisa bilang aku gila,

Tapi kamu tidak bisa berbuat apa-apa

 

Hai, kamu

Ini semua karena rindu

Ya, aku rindu kamu

Dan wajahku nampak begitu sendu,

Ditemani oleh rasa pilu.

 

Jadi, boleh ya aku merindu?

Boleh ya aku bersedih?

Sebentar saja.

Ya?

Doa Malam Ini

Bapa,

kudengar malam ini banyak sekali yang kehilangan.

Begitu juga dengan aku, aku kehilangan lagi satu hari dalam hidupku.

 

Bapa, aku tidak pernah meminta umur yang panjang,

aku tidak pernah meminta kesempurnaan.

 

Tapi, bolehkah aku berdoa meminta sesuatu malam ini saja?

 

Berkatilah setiap langkahku,

lindungilah orang-orang di sekitarku,

rangkullah mereka di dalam pelukan-Mu.

 

Bapa,

kerinduan ini terkadang masih ada,

aku rindu berada bersama-Mu, aku rindu dengan mereka yang sudah di sisi-Mu,

tapi aku tahu sekarang bukanlah waktuku.

 

Bapa,

ajarilah aku malam ini,

ajarilah aku untuk mengampuni,

ajarilah aku untuk mengasihi,

sesederhana itu saja.

 

Bapa,

terima kasih untuk hari ini,

terima kasih untuk hidup ini.

 

Dan bilamana aku harus menghadap engkau,

biarlah aku dalam keadaan siap,

siap meninggalkan semuanya yang ada di sini.

 

Amin.

 

Selamat malam, Bapa.

Terpejam Memandangi Langit

Image

Lagi-lagi aku terhenyak, membiarkan kedua mataku terpejam menghadap langit.

Kilau cahaya masih terasa hangat di kedua kelopak mata.

Kali ini, kuputar lagi perekam waktu di kepala.

Masih, masih ada yang tersisa, bahkan mungkin terlalu banyak.

Ah, kenapa begini? Kenapa isi otakku seperti sampah semua?

Harumnya bunga matahari yang terbakar terik mentari bahkan sudah tak pernah lagi kunikmati, hmmm…

Sobat, aku terlalu banyak mengeluh, terlalu banyak melenguh, terlalu banyak mendesah.

Kini aku membuka mata, membiarkan silaunya matahari menusuk langsung kedua mataku,

kedua mata yang selama ini terlalu buta,

kedua mata yang tidak bisa menuntun setiap langkahku.

Hidup ini terlalu berarti.

Hidup ini terlalu ramah, bahkan untuk aku yang selalu marah.

Haruskah Pergi Jauh?

Mari, mari pergi yang jauh”, begitu katanya.

Aku mendongak, berhenti memandangi teh hangatku yang sedari tadi tidak habis diseruput.

“Aku serius”, katanya lagi.

Mataku terpejam, kata-kata itu memenuhi kepala, seakan tidak ingin keluar lagi. Telingaku berdengung. Aku mendadak menggigil.

“Jangan, jangan lari lagi”, kataku kemudian.

“Aku lelah, kawan. Aku lelah, terlalu lelah.” Ia menggigit bibir.

Kepalaku menggeleng. “Aku sudah terlalu sering berlari, menjadikan diri seperti anak domba yang tidak tahu takdirnya sebagai hewan ternak. Aku tidak mau terus-terusan berlari-lari.”

Tawa remehnya menggema. “Kau, kau, jangan sok suci. Kita sudah biasa pergi jauh bersama. Kalau perlu, kali ini tidak usah berhenti, tidak juga perlu kembali.”

Aku mendadak pusing. Pikiran kami selalu sama. Apa yang kami inginkan selalu sama. Aku tidak suka hal yang rumit, aku tidak suka teka-teki, sudah terlalu lama aku tidak berhasil memecahkan semua ini.

“Benarkah kau tidak mau pergi jauh? Aku yakin kali ini kita akan berhasil.” Ia berusaha meyakinkanku, tapi nada bicaranya sendiri terdengar amat tidak yakin.

Sudah lebih dari ratusan ribu kilometer aku berlari–kami berlari. Tidak ada juga yang berhasil, semuanya nihil. Sebegitu bodohkah aku?

Berlari, berlari, dan berlari. Semakin jauh aku berlari, semakin banyak keringat yang keluar dari tubuhku, dan mungkin akan ada air mata yang ikut keluar… Mengapa? Karena aku berlari terlalu jauh hingga aku tersesat dan tidak memiliki siasat.

Dan dengan keraguan aku terus melangkah maju, perlahan, tanpa suara.

Di tengah keheningan aku memandangi potret itu, potret kami.

Aku bersama dia, aku bersama diriku sendiri.

Dia adalah diriku.

Dia adalah ketakutanku.

Ketakutan yang bisa memberikan segalanya; kemarahan, penyesalan, kesedihan, juga kehampaan,

Aku tidak ingin lagi berlari, kawan. Aku lelah.

Tidak akan ada juga beban yang hilang, bila aku terus berlari. Iya, kan?

Nafasku tersengal, tersengal, tersengal.

Mari kita berhenti berlari, kawan.

Aku ingin tidur saja.

Aku tahu aku tidak harus pergi jauh.

Aku tahu.