Kamu tahu rasa itu? Rasa kehilangan. Kehilangan dia yang tidak pernah benar-benar menarik perhatianmu, tapi selalu memberikan bahunya untukmu bersandar. Selalu memberikan telinganya untukmu bercerita. Selalu memberikan candanya untuk menghiburmu. Di saat kamu berusaha melupakan dia yang lain, di saat yang sama pula dia selalu ada untukmu. Ternyata begini rasanya sepi. Akhirnya kamu tahu rasanya nyeri. Bahkan membuatmu bergidik ngeri–betapa kamu tidak menyadari sama sekali. Kamu tahu, kan? Ya, kamu memang seharusnya tahu.
Category: Tulisan Acak
Ke Mana Dia yang Bernama Waktu?
Sepertinya baru kemarin saya mendaftar les Bimbingan Tes Alumni atau BTA di SMAN 8 Jakarta untuk mempersiapkan diri supaya bisa diterima kuliah di Universitas Indonesia (UI). Sepertinya baru kemarin saya diterima magang dua bulan di majalah CosmoGIRL! Indonesia.
Sudahkah Saya Memeluk Diri Saya Hari Ini?
Pertanyaannya bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi. Sudahkah saya memeluk diri saya sendiri? Sudahkah saya membuat diri saya bahagia dan nyaman? Saya bukan orang yang bisa diam dalam satu tempat dan kegiatan untuk waktu yang lama. Ya, saya tipe manusia yang mudah sekali terjebak dalam kebosanan. Dan bisa dibilang, menulis, membaca, dan bermain biola untuk diri sendiri adalah tiga hal yang tidak pernah bisa membuat saya bosan sama sekali.
Continue reading “Sudahkah Saya Memeluk Diri Saya Hari Ini?”
Aksi dan Konsekuensi Buat Hati
Saya tidak tahu harus mulai dari mana, tapi belakangan perasaan saya dilanda sesuatu yang tidak biasa. Jatuh cintakah? Risaukah? Saya tidak mau menggunakan kata galau–saya menghindarinya. Daripada sibuk menggambarkan betapa mendungnya hati ini, lebih baik saya berfokus pada sesuatu yang lain.
Ah, Awal!
Di tautan ini, saya sedikit lupa bahwa saya pernah menulis sebuah tulisan berjudul “Pada Awalnya” untuk Writing Session (@writingsession). Saya senang sekali mendapati tulisan ini menjadi tulisan best of the night untuk sesi 2 Januari 2011. Ah, ya. Dua tahun lalu? Lama, eh? Iya, lama.
Tulisan saya itu bisa dibaca di: http://writingsessionclub.blogspot.com/2011/01/pada-awalnya.html
🙂
Selamat hari Senin! 😀
Refleksi (Hampir) Tengah Tahun
Lucu, bagaimana akhirnya saya mengerti cara Semesta bekerja.
Bersama seorang teman, tadi sore saya pergi ke IFI Salemba untuk pertama kalinya dan untuk pertama kalinya pula saya menonton salah satu film Europe on Screen. Kami menonton sebuah film asal Bulgaria yang berjudul “Sneakers”. Film ini mengisahkan tentang enam anak muda yang kabur ke pantai di perbatasan Laut Hitam dari kehidupan mereka yang cukup kacau. Terlepas dari adegan-adegan absurdnya yang lucu, saya ingin mengutip salah satu perkataan tokohnya, yaitu seorang perempuan muda bernama Emmo.
“What are your fears?” tanya salah satu teman Emmo. Terdiam sebentar, Emmo pun kemudian menjawab, “Growing up.”
Kutipan di atas pada akhirnya mengantarkan saya pada kenyataan bahwa bertumbuh dewasa adalah bagian dari hidup yang tidak akan pernah bisa dihindari. Ah, harus saya koreksi. Kita bisa memilih untuk tidak bertumbuh dewasa, tapi kita tidak bisa memilih untuk tidak bertambah tua. Toh, pada akhirnya, menjadi dewasa adalah sebuah pilihan–sebuah pilihan yang memberikan ketakutan.
Saya memejamkan mata sebentar, lalu melihat sekelling. Usia saya kini sudah 21 tahun 1 bulan. Sespesifik itukah? Ya, bagi saya. Banyak hal yang sudah terjadi, banyak hal yang sudah dinanti. Pada akhirnya, semuanya kembali lagi pada diri saya sendiri. Semua ini tidak pernah terjadi begitu saja. Alangkah menyenangkan melihat bagaimana Semesta bekerja–mempertemukan saya dengan banyak kesempatan dan atmosfer baru.
Di hampir pertengahan tahun ini, ada begitu banyak hal yang kemudian membuat saya tertawa geli. Semua kegelian ini diberikan oleh berbagai pengalaman dan kejadian yang terjadi dari awal tahun hingga sekarang. Saya telah belajar banyaaak! Banyaaak sekali walaupun saya sadar ini masih belum ada apa-apanya. Saya masih bau kencur.
Kembali pada tulisan pertama di sini, saya toh masih harus terus belajar tentang bagaimana melepaskan kepergian seseorang–baik secara disengaja ataupun karena terpaksa. Mereka datang dan pergi begitu saja di hidup saya. Siapapun mereka–pacar, gebetan, sahabat, keluarga, atau kerabat, saya berusaha untuk memungkiri satu hal, yaitu ada satu kepingan dalam diri saya yang (mungkin) dibawa pergi oleh mereka. Atau ini hanya perasaan saya saja? Saya pun tidak tahu pasti. Bagaimanapun juga, kepingan tersebut adalah kepunyaan saya yang harus saya dapatkan kembali. Proses penerimaanlah yang kemudian berhasil membuat saya sembuh dari rasa kehilangan. Tidak mudah, memang. Akan tetapi, sekali lagi, proses selalu menjadi yang terpenting. Mereka–orang-orang itu, tentu tidak datang begitu saja tanpa alasan; saya percaya semesta telah mengatur segala pertemuan dan perpisahan dengan berbagai alasan. Berbagai alasan yang membuat saya akhirnya belajar banyak hal, terutama tentang makna kehilangan itu sendiri.
Selain terus belajar tentang makna kehilangan, saya juga belajar tentang pentingnya untuk berhenti sejenak. “Santai, jon.” Seorang teman bahkan mengatakan bahwa menjadi ambisius memang baik, tapi ada kalanya kita harus berhenti sejenak, menghela nafas, sebelum akhirnya mengambil langkah yang lebih besar lagi. Ini adalah satu hal yang sering luput dari diri saya sendiri. Saya seringkali terburu-buru hingga akhirnya salah mengambil langkah dan menyesal. Melakukan kesalahan memang baik karena membuat saya belajar untuk lebih berhati-hati, tapi kalau terus mengulangi kesalahan yang sama, apa jadinya? Saya pun diingatkan oleh teman yang lain untuk tidak terlalu menekan diri sendiri. “Don’t push yourself too hard,” begitu katanya. Perjalanan demi perjalanan, kejadian demi kejadian, keputusan demi keputusan. Saya kini berada di titik di mana saya sadar bahwa selama ini saya terlalu menekan diri saya sendiri dengan porsi yang berlebihan, tapi di sisi lain saya sering santai dengan porsi yang tidak wajar. Semua ini pada akhirnya harus dilakukan secara seimbang. Konklusinya, saya harus fokus pada semua tujuan dan keinginan saya, tapi saya juga harus belajar untuk lebih santai dan belajar bekerja sama serta menerima diri saya sendiri supaya tidak ada lagi penyesalan. Atau setidaknya, saya ingin belajar untuk tidak menghakimi diri saya sendiri saat melakukan kesalahan hingga tidak akan ada penyesalan yang muncul. Making mistakes is just a part of life. Human beings make mistakes.
Bagi saya, hidup ini adalah sebuah kurikulum tidak terbatas. Kurikulum tanpa standar yang terus membuat saya belajar. Terima kasih, Semesta.
Rima
Aku
Sendu
Rindu
Debu
Abu
Ragu
Malu
Palsu
Tamu
Layu
Semu
Pilu
Kaku
Paku
Rayu
Sipu
Beku
Kelu
Kamu
Sisa Hujan
Bersenandung sore menikmati sisa-sisa hujan di kaca jendela
Berdansa bersama tetes-tetes hujan yang masih ada di dedaunan
Tertawa menatap langit sembari berharap tidak segera menjadi gila
Hingga akhirnya memandangi tanah basah bersama cacing-cacing yang menggeliat
Kembang dan kumbang sama-sama basah kuyup
Semut masih mengantre sembako di rumah yang entah milik siapa
Semuanya sibuk mencari
Tiap-tiap dari mereka begitu senang menyibukkan diri
Sementara aku sebentar lagi akan terlelap
Entah sampai kapan
Apa tidak usah bangun lagi?
Kembali ke Perpisahan
Semakin banyak perjumpaan, semakin banyak pulalah perpisahan yang akan dan harus hadir. Ya, memang berat.
Aku tidak pernah menyukai berita duka, tidak pernah juga senang mengucapkan selamat tinggal. Lebih baik mengatakan “Sampai jumpa”, ketimbang harus mengucapkan “Selamat tinggal.” Mungkin bagi sebagian orang kedua frasa ini tidak ada bedanya. Keduanya sama-sama diucapkan ketika kita–atau aku, berpisah dengan orang yang kujumpai.
Aku benci mengatakan hal ini, tetapi belajar mengikhlaskan kepergian siapapun di muka bumi ini tidak pernah terasa mudah. Rasanya, lebih baik mengerjakan ujian dengan seribu soal daripada harus berpisah tanpa tahu kapan akan bersua kembali.
Tulisan ini kubuat untuk menghormati orang-orang yang telah datang dan pergi dalam hidupku, terutama untuk mereka yang sudah naik ke Surga. Halo, Kak Anggi, Ama, Mas Dekun, dan semuanya! 🙂
Aku tahu, mungkin suatu hari nanti akan tiba giliranku untuk meninggalkan semua yang kupunya; untuk mengikhlaskan semua momen yang pernah kumiliki selama aku hidup. Tidak, aku tidak mau mati. Tidak, aku tidak mau bunuh diri. Aku hanya bersiap-siap untuk segala kemungkinan yang bisa terjadi. Tidak ada salahnya, kan? 🙂
Yang jelas, aku sangat beruntung dan bersyukur atas semua perjumpaan dan perpisahan yang pernah terjadi dalam hidupku. Semuanya telah berhasil menciptakan berbagai macam kesan dan pesan. Semuanya telah menjadi begitu berarti. Semuanya telah tersimpan rapi dalam memori di otakku… dan semoga saja aku tidak harus melupakan itu semua hingga ku mati nanti. Semoga. Tapi, sekali lagi, tidak ada yang akan pernah tahu, kan?
Pada akhirnya, kita semuanyalah yang akan memutuskan. Kita semualah yang harus mengucapkan salam perpisahan. Semua perjumpaan harus kembali ke dalam satu perpisahan.
Tanpa Judul
Ini adalah sebuah perasaan yang tidak terdefinisikan. Perasaan yang aku rasakan karena telah dan tengah dikelilingi orang-orang yang tepat. Memberikan kebahagiaan yang tidak bisa dideskripsikan. Melewati banyak momen. Menghabiskan tawa bersama. Tersenyum. Ya, ini adalah perasaan itu.