Melepas yang Harus Dilepas

Ya, melepas yang harus dilepas. Sulitkah? Tentu. Butuh waktu yang cukup lama bagiku untuk melepaskan hal ini, ya hal ini. Bertahun-tahun aku terjebak dalam imajinasiku sendiri, bertahun-tahun aku terjebak dalam bayangan kesempurnaan. Hasilnya? Nihil.

Melepaskan sama sekali berbeda dengan kehilangan karena melepaskan sesuatu berarti sesuatu itu yang harus menunggu kita untuk melepaskannya, sementara kehilangan…kita yang harus rela ditinggalkan oleh sesuatu yang amat dekat dengan kita, atau yang amat kita cintai. Aku minta maaf untuk panggilan ‘kita’ yang seakan-akan berniat untuk mendikte kalian, meski aku tidak berniat mendikte kalian sama sekali.

Yang jelas, kini ada perasaan bahagia sekaligus lega yang menghampiriku. Aku bahagia pada hal yang telah berhasil kulepaskan setelah bertahun-tahun lamanya. Ini tidak mudah sama sekali, tetapi aku kali ini sangat yakin bahwa semua ini adalah yang terbaik.

Aku bangga pada diriku sendiri karena aku telah berhasil melepaskan sesuatu yang seharusnya sudah kulepaskan sejak lama. Aku bangga pada diriku dan kesiapanku untuk menyambut apapun yang akan terjadi di masa depan.

Mengapa Marah?

Kini aku bertanya, mengapa marah? Bertahun-tahun manusia memerangi rasa marah, berusaha meredam amarah yang seringkali menyesakkan dada. Rasa sakit hati, benci, marah, dendam, kesal, hingga muak menjadi alasan mengapa manusia sulit sekali mengendalikan amarahnya.

Begitu juga dengan aku, ingin sekali aku menyalahkan masalah genetik sebagai alasan mengapa aku mudah sekali marah. Ingin sekali aku marah-marah setiap saat. Begitu banyak kebencian, begitu banyak dengki. Mungkin aku terdengar berlebihan, tapi ingatkan aku kalau memang hanya aku yang bermasalah dengan pengendalian emosi. Ingatkan aku, beritahu aku, jika ada di antara kalian yang tidak pernah marah sekalipun.

Meluapkan emosi dengan marah-marah pada dasarnya tidak baik bagi kesehatan jantung, juga pada hati kita sendiri. Tapi ada juga yang bilang bahwa memendam sesuatu–termasuk amarah, justru tidak baik sama sekali. Intinya? Memendam sesuatu dan marah-marah sama-sama tidak baik. Dua-duanya sama-sama bikin diriku sendiri sengsara, begitu menurutku. Dengan marah-marah, aku membuang energi banyak sekali. Dengan memendam sesuatu, berarti aku tidak bisa belajar memaafkan siapapun–termasuk diriku sendiri.

“Lalu, mengapa marah?” Pertanyaan ini kerap kali muncul di benakku, muncul ketika aku menyesali saat-saat di mana aku marah. Membuat aku menyesal karena telah mengumpat pada banyak hal, marah pada keadaan yang tidak bisa dirubah sama sekali. Di saat aku marah, aku seringkali menyakiti diriku sendiri. Aku menyimpan amarah setelah sekian lama dan kemudian meledakannya begitu saja. Bodoh? Ya, memang. Aku menyadari bahwa ada saat-saat di mana aku sering bertindak dan berpikir dengan begitu bodoh. Tapi dengan berperilaku bodoh seperti itu, aku belajar bagaimana caranya untuk menjadi lebih pintar. Sedikit lebih pintar. Ya, sedikit saja.

Dan seiring dengan berjalannya waktu, aku semakin sadar bahwa meluapkan emosi dengan ekspresi muka super galak, mengumpat, menyakiti perasaan orang lain dengan kata-kataku–semua itu tidak ada gunanya sama sekali. Semua itu hanya membuatku merasa begitu bodoh karena tidak bisa berpikir dua kali sebelum marah. Mungkin ayat dalam Injil tentang mengasihi musuh seperti aku mengasihi diri sendiri ada benarnya juga. Sulit? Ah, tentu saja. Di dunia ini, tidak ada satu pun yang benar-benar mudah. Setidaknya, begitu menurutku. Jadi, tugasku sekarang adalah belajar untuk memaafkan hal-hal yang membuatku marah. Belajar untuk memaafkan orang-orang yang membuatku marah. Naif memang, tapi beginilah kenyataannya. Sekali lagi, menurutku.

Untuk itu, sekarang aku telah tiba pada suatu kesimpulan bahwa ada banyak hal yang bisa kulakukan untuk bisa menyalurkan emosiku tanpa harus memendamnya. Salah satunya adalah dengan menulis. Sejujurnya, menulis tulisan ini agak sedikit berat bagiku karena begitu sulit bagiku untuk memahami setiap amarah dari masalah. Namun aku sadar, menjalaninya adalah hal termudah untuk bisa memahami. Pelan-pelan, tentu saja. Kini aku semakin percaya bahwa menulis itu menyembuhkan. Kini aku percaya bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja.

Bahkan, Om Bob Marley juga sering berkata, “Don’t worry about a thing, ‘cuz every little thing is gonna be alright.”

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=8mNGvvOnV18&feature=fvwrel]

Sekali lagi, mengapa marah?

Dongeng Tentang Perjumpaan dan Perpisahan

Hei, hidup ini adalah sebuah dongeng tentang sebuah perjumpaan dan perpisahan. Lalu, mengapa murung? Lalu, mengapa bersedih?

Aku sering bertanya-tanya di dalam benakku sendiri, mengapa ada begitu banyak perjumpaan dalam hidup ini. Aku pun lelah menebak-nebak, aku lelah mencari tahu jawabannya. Ketika aku bertemu kamu, ketika kamu bertemu aku, ketika aku bertemu kalian, ketika kalian bertemu mereka, ketika mereka bertemu dia. Setiap detiknya, ketika bertemu dengan orang-orang yang bahkan bisa mengubah hidup kita seluruhnya. Membuat semuanya semudah sebuah jentikan jari. Voila!

Perjumpaan yang kadang tak beralasan, seringkali diakhiri dengan sebuah perpisahan yang beralasan. Terlalu banyak alasan malah. Andai saja aku tahu apakah ini misteri, apakah ini khayalanku sendiri?

Dengan waktu yang selalu berlari, begitu sering aku merasa tidak sanggup mengejarnya. Tapi sekali lagi, berjalan beriringan–bahkan sambil bergandengan tangan dengan waktu bisa dibilang sebagai cara termudah untuk mengimbanginya. Waktulah yang mempertemukan aku dengan setiap insan yang pernah ada, masih hadir, dan akan muncul dalam hidupku. Waktu jugalah yang kemudian memisahkan aku dengan setiap orang yang kutemui.

Acceptance atau penerimaan adalah hal tersulit dalam hidup–setidaknya, bagiku. Ya, bagiku. Dalam setiap detik aku bernafas, aku selalu berusaha untuk menerima apa yang ada dan tidak ada dalam hidupku. Berbeda, penerimaan sangatlah berbeda dengan rasa syukur. Namun, keduanya berhubungan. Dengan menerima segala sesuatunya, secara tidak langsung aku telah mensyukuri apa yang ada dalam hidupku. Ya, kan? “Ya,” kataku.

Ah, sepertinya aku sudah melantur terlalu jauh.

Ngomong-ngomong tentang perjumpaan dan perpisahan–menurutku semua ini tentang penerimaan. Jika kita bisa menerima setiap perjumpaan dan perpisahan yang datang dalam hidup, maka keduanya akan muncul lagi dalam hidup. Semudah itu. Rasa percaya juga sangat dibutuhkan. Kalau kita bisa percaya pada keajaiban–bagaimana orang-orang yang hadir dalam hidup kita datang karena/memberi keajaiban, tentu jika mereka suatu saat pergi, kita bisa bertemu lagi dengan mereka asal kita percaya. Ya, begitulah.

Sekali lagi, hidup ini adalah dongeng tentang perjumpaan dan perpisahan.

🙂

Sebuah Ide Tentang Kehilangan

Belakangan, ide tentang kehilangan terus bermunculan di kepalaku. Aku sudah seringkali menuangkannya di berbagai tulisan, namun aku sebenarnya masih bertanya-tanya; apa itu kehilangan?

Bagiku, kehilangan adalah sebuah proses, bukan hanya sebuah momen yang terjadi di dalam hidup. Hidup siapa? Ya hidupku, hidupmu, dan hidup kita. Semua orang pasti pernah merasa kehilangan.

Kita pasti pernah kehilangan benda yang paling kita sukai, seperti aku yang pernah kehilangan sebuah jam tangan Hello Kitty favorit saat sedang berlibur ke Puncak bersama keluarga. Saat itu aku masih duduk di kelas 4 SD dan aku memang tipe anak yang sangat menyayangi barang-barang yang kupunyai, apapun itu. Atau mungkin kehilangan seekor binatang peliharaan? Aku pernah menangis sedih karena ikan-ikan kecil yang kubeli mati dalam waktu dua hari.

Tapi yang terberat tentu kehilangan orang yang kita cintai, orang yang kita sayangi. Orang yang kita temui setiap hari. Suaranya bahkan masih bisa kita dengar saat kita memejamkan mata–meski dia sudah tidak ada. Dan bersamaan itu pula, kita bisa dengan jelas melihat paras wajahnya, senyum ceria, tawa yang lepas, juga saat-saat yang pernah dilalui bersama. Mudah? Tentu tidak.

Pengalaman kehilangan pertamaku adalah waktu Ama meninggal. Waktu itu tahun 2005, bulan Februari yang kelam untuk Mama dan saudara-saudarinya. Ama adalah ibunda dari Mama. Namanya Anastasia. Kata Ii (tanteku), mata Ama berwarna coklat, tapi aku selalu percaya matanya berwarna biru.

Ama adalah nenek kesayanganku. Beliau dulu sering cerita kepadaku tentang Suster Josefina atau Josephina atau Josephine yang mengajar di sekolahnya dulu, sekolah berbahasa Belanda. Ama senang sekali bicara dengan Bahasa Belanda, juga menyanyikan lagu “Potong Bebek Angsa” dalam Bahasa Belanda. Suaranya merdu. Ama yang kukenal tidak pernah marah.

Kalau Ama sedang berkunjung ke Jakarta, beliau selalu menginap di rumahku. Ama cantik sekali, hidungnya mancung. Aku ingat dulu ia pernah menemaniku bermain The Sims. Dan aku gemar sekali mencubit-cubit tangannya yang sudah bergelambir seiring dengan umurnya bertambah. Aku sering berusaha melucu di depannya, menirukan gaya hantu-hantu yang sering ada di TV.

Sampai suatu hari waktu berjalan begitu cepat dan Ama masuk rumah sakit. Singkat cerita, Ama dipanggil Tuhan. Aku masih kelas 1 SMP saat itu. Aku begitu terpukul. Aku belum sempat berguru Bahasa Belanda dengannya. Aku belum sempat membanggakannya. Semua memori itu bahkan masih tergambar jelas di kotak ingatanku. Tubuh Ama di dalam peti, di rumah duka. Proses pemakaman… Semuanya sangat jelas. Kami menangis berirama, irama duka. Aku selalu menjadi salah satu cucu kesayangannya.

Setelah kepergian Ama, aku belajar banyak hal. Banyak sekali. Terlebih sebuah ide tentang kehilangan. Aku melihat orang-orang di sekitarku mulai kehilangan kerabat dan sahabat yang dicintai. Sahabat kecilku, Tasha, kehilangan Omanya. Oma yang selalu tersenyum dan terlihat awet muda. Juga Febby, sahabatku sejak SMP yang kehilangan Papanya karena sakit jantung.

Lalu aku mengenal Kak Anggi saat magang di Cosmogirl! tahun 2010. Kak Anggi adalah sosok terbaik. Sosok paling menggemaskan, mengingatkanku pada Velma yang ada di fim Scooby Doo. Aku ingat bagaimana ia bercerita tentang idolaku, Fitri Tropica. Mereka saling kenal. Kami berjanji untuk bertemu bertiga, kapan-kapan. Tapi aku tahu, momen ini tidak akan pernah tercipta. Hanya bisa sebatas di social media antar kami waktu itu, Twitter. Dan Kak Anggi sudah pergi duluan meninggalkan kami, sekitar enam bulan kemudian. Aku begitu shocked.

Waktu aku magang, ia selalu berusaha menyemangatiku. Membantuku dalam memecahkan masalah, juga memberiku wejangan-wejangan. Bahwa masa muda adalah momen yang tepat untuk bersenang-senang, bahwa kesehatan lebih penting daripada bentuk badan. Terima kasih banyak, Kak.

Kak Anggi, Epin sekarang sudah semakin bahagia. Aku senang sekali bisa mengenal kakak. Terima kasih banyak. Hatur nuhun, teteh. Epin kangen Kak Anggi. Suatu hari kita bisa ketemu lagi, kan? 🙂

Ama, Omanya Tasha, Papanya Febby, Kak Anggi, juga ada Apak Seng-Seng dan Mas Dekun.

Apak Seng-seng adalah kakak ipar dari Papa. Sosok yang selalu bisa dijumpai di halaman rumah saat keluarga kami berkunjung ke rumah Phopho. Ia tidak banyak bicara, tapi selalu murah senyum. Tidak banyak yang kuketahui tentangnya, tapi beliau adalah seorang ayah panutan.

Sedangkan Mas Dekun, hmm… Beliau adalah orang yang tidak akan pernah bisa kulupakan. Keisengannya, juga setiap senyum lebar dengan gigi tanggalnya yang terlihat jelas. Seseorang yang tidak banyak bicara dan sangat apa adanya. Seorang ayah, suami, sahabat, om, senior, juga guru bagi kami semua. Suaranya bahkan masih terekam jelas di telingaku. Bagaimana Mas Dekun memanggilku “Ipin” dan terus menegurku agar bisa bermain biola dengan lebih pede dan yakin. Lalu Mas Dekun pergi beberapa saat yang lalu. Tapi aku yakin, beliau pasti lebih bahagia saat ini.

Waktu selalu berlari, berlari meninggalkan pemilknya. Yang kita perlukan hanyalah mengejar, menjalaninya, dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Jangan sampai ada penyesalan yang tertinggal.

Memiliki selalu datang bersama sebuah kehilangan. Benar-benar tidak ada yang abadi, bukan? Kita menggenggam erat, tapi harus juga bisa melepas dengan mantap. Hidup ini adalah dongeng tentang keikhlasan. Hidup ini adalah sebuah perjalanan.