Cerita Senja dan Banyu: 04. Tentang Ayah dan Bunda

Ayah mengangkat wajah, kemudian menyeruput secangkir kopi Aceh yang diberikan Tante Sohita, ibunda Banyu. Sudah cukup lama dia mengisi kolom TTS di koran hari Minggu. Kira-kira sudah satu jam. Kulihat Bunda tertidur menyamping di sofa dengan kepala yang menindih tangan kanannya sendiri. Continue reading “Cerita Senja dan Banyu: 04. Tentang Ayah dan Bunda”

Cerita Senja dan Banyu: 03. Cinta Pertama Banyu

Dan hari-hariku kemudian dipenuhi oleh cerita kasmaran Banyu dengan Anala yang tidak berlangsung lama. Masa pendekatan yang hanya satu bulan, Banyu yang memang cukup tampan, lalu bisa mengambil hati gadis pujaannya. Itulah cinta pertama Banyu.

Aku bukan cinta pertamanya. Banyu memiliki kisahnya sendiri. Meski demikian, Banyu adalah cinta pertamaku. Kisah kami terlalu panjang untuk ditorehkan dalam sebuah cerita, oleh karena itu aku memilih untuk menuliskan kisah cinta pertama Banyu di sini. 

Saat itu aku tengah melukis di teras rumah. Selain laut, langit adalah obyek favoritku yang lain untuk dilukis.

“Dor!” Banyu mengagetkanku dari belakang. Untung saja cat minyak tidak tumpah ke kanvasku. Sialnya, cat minyak berwarna biru itu malah terciprat ke wajahku.

Aku memutar kepala dan tubuhku hingga menghadap Banyu. Dia tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya. Tidak bisakah dia bersikap lebih manusiawi? Pikirku. Bagaimanapun juga, ini salahnya. Mulutku melengkung ke bawah, berubah murung.

“Maaf, maaf…” Banyu masih tertawa.

Aku mengambil cat minyak di wajahku, kemudian mengoleskannya di wajah Banyu. “Terima kasih untuk tawamu, Banyu. Semoga cat minyaknya bisa menjadi obat anti jerawat.” Aku tersenyum lebar.

Gantian Banyu yang murung. “Ah, kamu, Senja!” Tidak sampai satu menit, Banyu sudah tersenyum lagi. Aneh.

“Oh iya, ada apa? Tumben, kamu mau ke sini dan mengganggu jam melukisku.” Aku bangkit dari tempatku duduk dan berjalan ke tangga turus, pindah duduk ke sana.

“Coba tebak!”

Aku menggeleng. “Malas, ah. Jangan membuang waktuku, Banyu, aku masih mau lanjut melukis. Langit cerah sedang indah-indahnya.”

“Ya, sudah. Melukis saja sana.” Banyu cemberut lagi.

Aku tidak peduli. Kepalang tanggung, wajahku sudah berubah biru, lebih baik aku lanjut melukis sebelum langit berubah gelap. Aku pun kembali ke tempatku melukis.

“Senja, aku sedang jatuh cinta.” Banyu berbisik di telingaku.

Aku menempelkan punggung tanganku di dahinya. “Kamu sakit, ya?”

Banyu menggeleng. “Aku serius. Aku sedang jatuh cinta.”

“Hah? Dengan siapa? Oh iya, kamu juga belum puber, kan?” Aku masih belum yakin bahwa Banyu benar-benar tengah jatuh cinta.

Banyu mengernyitkan dahi. Kerut-kerutnya mengingatkanku pada wajah tokoh-tokoh komik saat mereka sedang kesal. “Enak saja! Aku sudah masuk masa pubertas sejak setahun yang lalu! Memangnya kalau aku mimpi basah, aku harus bilang padamu?”

Benar juga. Aku mengangguk-angguk. “Baiklah. Jadi, kamu jatuh cinta sama siapa?”

“Sama Anala.”

“A… Anala? Yang jago karate itu?”

Kini giliran Banyu yang mengangguk.

Dan hari-hariku kemudian dipenuhi oleh cerita kasmaran Banyu dengan Anala yang tidak berlangsung lama. Masa pendekatan yang hanya satu bulan, Banyu yang memang cukup tampan, lalu bisa mengambil hati gadis pujaannya. Itulah cinta pertama Banyu. Tidak sampai tiga bulan, hubungan mereka pun bubar, seperti barisan peserta upacara di sekolah yang kepanasan dan tidak sabar ingin minum di kelas masing-masing. Berhamburan begitu saja.

Tapi kemudian aku bertanya-tanya, apa itu cinta?

Cerita Senja dan Banyu: 02. Kami dan Pubertas

Aku ingat betul lesung pipinya. Banyu yang manis. Saat itu tubuhku masih lebih tinggi dari Banyu, hingga setahun kemudian, gantian dia yang memasuki masa pubertas hingga akhirnya tubuhnya menjulang tinggi dan dadanya menjadi begitu bidang.
Banyu, sahabatku.

Tidak ada yang lebih menyeramkan daripada perubahan.

Dan sepuluh tahun lalu, perubahan itu muncul. Aku begitu terkejut ketika mendapati ada bercak darah di celana dalamku, ketika itulah aku akhirnya mengetahui sebuah makhluk yang bernama menstruasi. Dia adalah makhluk yang menjadi bagian dari pubertas.

Di hari aku menemukan bercak itulah, perutku sakit tiada ampun. Rasanya berbeda sekali dengan sakit perut yang kurasakan bila terlalu capai berlari. Sakitnya tidak terasa melilit, tapi cukup bisa membuatku menjerit. Saat itulah, aku hanya ingin meringkuk di atas kasur, di bawah selimut tebal. Perutku tidak berhenti kelaparan. Aku cukup yakin bahwa ada monster yang mulai hidup di dalam perutku sejak hari itu.

Setidaknya aku mengerti bahwa agar-agar bisa mengobati sedikit rasa laparku. Agar-agar yang berbentuk mangkok, berwarna-warni, sedikit banyak mengingatkanku pada ubur-ubur yang kadang kujumpai di laut. Bedanya, agar-agar ini tidak menyengat.

“Senja, ada Banyu.” Bunda masuk ke kamar saat aku masih meringkuk di bawah selimut. Rasanya seperti tinggal di goa, apalagi aku tidak menyalakan lampu kamar, karena aku hanya ingin tidur. Menstruasi ini menyiksaku.

Aku mengangkat kepala. “Perutku masih sakit, Bun.”

“Apa? Bunda nggak bisa dengar kamu bicara apa.”

Oh, iya. Kepalaku masih di bawah selimut, pantas saja Bunda tidak bisa mendengar suaraku.

Kubuka selimut, mataku menyipit seperti bulan sabit. Silau. Ternyata Bunda masuk ke kamarku dan langsung menyalakan lampu. “Perutku masih sakit, Bun.”

“Bunda harus bilang apa, ya? Sepertinya dia mau mengajak kamu main di pantai.” Dahi Bunda berkerut. Dia tampak bingung.

“Ya sudah, suruh dia masuk sini saja, Bun. Nanti aku coba kasih tahu dia.” Bunda mengangguk dan melengos pergi.

Seperti seekor ulat yang masih dalam kepompong, aku bergerak malas di tempat tidur. Mengerjap-ngerjapkan mata, kemudian berusaha mengumpulkan tenaga, seperti Goku yang bersiap melancarkan serangan kamehameha.

“Kamu sakit apa?” Tanpa basa-basi Banyu langsung membuka selimutku sampai kaki.

Posisi tubuhku langsung berubah, memeluk erat diriku sendiri. “Sakit perut. Hmm… Kata Bunda ini pubertas, proses menjadi orang dewasa. Begitulah…”

“Cuma sakit perut? Yuk, main ke pantai! Aku ingin pergi berenang.” Banyu menarik kedua tanganku hingga posisi tubuhku mau tidak mau menjadi duduk.

Aku melemparkan tubuhku ke belakang. Aku ingin tidur lagi. Lemas sekali. “Bukan, bukan sakit perut biasa. Aku berdarah.”

“Hah? Berdarah? Sudah pakai betadine?” Wajah bingung tidak lagi ada di Bunda, kini berpindah ke Banyu.

“Aku menstruasi, makanya berdarah. Aku juga masih bingung itu apa. Yang jelas, aku nggak bisa berenang sore ini. Sampai sore besoknya lagi… Pokoknya sampai menstruasinya selesai.” Kepalaku kini sudah kembali berada di atas bantal. Berbaring di kala menstruasi seperti ini memang nyaman sekali. Kasur terasa seperti roti yang empuk.

Banyu terdiam sebentar. “Apapun itu. Kita makan nasi liwet Bu Rahmi saja, yuk. Kamu tenang saja, aku yang bonceng dan traktir. Kalau perlu, aku gendong sekarang.”

Aku ingat betul lesung pipinya. Banyu yang manis.

Saat itu tubuhku masih lebih tinggi dari Banyu, hingga setahun kemudian, gantian dia yang memasuki masa pubertas hingga akhirnya tubuhnya menjulang tinggi dan dadanya menjadi begitu bidang.

Banyu, sahabatku.

Cerita Senja dan Banyu: 01. Dua Belas Tahun yang Lalu

Tubuhku bahkan lebih tinggi darinya. Banyu selalu bertubuh kurus namun terlihat kokoh dengan kulit coklat, menurutku seperti sebuah tongkat bisbol kayu. Itulah perjumpaan pertamaku dengan Banyu. Tetangga yang bertemu di pinggir jalan. Yang satu terengah-engah, yang satu lagi tengah bersepeda dengan riang gembira.

Aku ingat betul kejadian dua belas tahun yang lalu. Saat itu aku tengah mengayuh sepedaku menuju ke pantai, ketika ada sepeda lain yang menyusulku. Seorang anak laki-laki duduk di atasnya.

Di kota kecil tempatku tinggal, tidak biasanya ada anak seumuranku yang mau bersepeda di jam-jam seperti ini. Matahari yang terlalu menyengat sehingga mengharuskan kami menyipitkan mata, menjadi salah satu alasannya.

“Kriiing… Kriiing…” Pengendara sepeda yang menyusulku itu membunyikan bel. Aku girang bukan main, sepertinya ada tetangga baru yang bisa kuajak main sepeda tiap sore.

Ternyata aku salah.

“HEIII!!! TUNGGU, RAMA!!! SEPEDAKUUU!!!” Seorang anak laki-laki lain berlari dengan napas yang terengah-engah. Dia mengejar si pengendara sepeda yang tadi menyusulku.

Sepertinya dia butuh pertolongan.

Tangan kananku memencet rem. Sepedaku berhenti mendadak. “Kamu butuh tumpangan?” tanyaku pada si pelari.

Wajahnya tampak bingung. Kami sama sekali asing. “Ehm, iya. Aku butuh tumpangan. Mau mengejar sepedaku yang dibawa lari. Kamu bisa ngebut?”

“Tentu bisa. Ayo naik!” Tidak sampai lima detik, bokong anak itu sudah menempel di jok belakang sepedaku. Aku pun langsung mengayuh sepedaku dengan sekuat-kuatnya. Otot kakiku mungkin tidak besar, tapi aku sudah terbiasa kebut-kebutan dengan sepeda, apalagi kalau jalan raya menuju pantai sedang lengang.

“Dasar si Rama itu! Baru saja datang, langsung mengendarai sepedaku begitu saja tanpa izin.” Si pelari terus berceloteh.

Kamu tentu bisa menebak, pelari itu adalah Banyu Biru. Ya, dia adalah Banyu-ku.

“Jadi, kamu baru pindah ke sini?” tanyaku setengah berteriak. Angin cukup memangkas suara sehingga sulit terdengar.

“Iya. Aku baru saja pindah ke sini. Namaku Banyu Biru, panggil saja Banyu. Omong-omong, terima kasih untuk tumpangannya.” Banyu menepuk bahuku satu kali. Mungkin begitu caranya berkenalan dengan orang baru. Di atas sepeda.

Aku mengangguk-angguk. Seharusnya dia bisa melihat anggukanku dari belakang. Dan tidak mengiranya sebagai guncangan karena tekstur jalan yang sedikit berbatu. “Aku Senja Moktika, biasa dipanggil Senja.”

“Itukah sepedamu?” Sekitar lima meter di depan kami, ada sebuah sepeda yang tengah tertidur di atas pasir. Kami sudah tiba di pantai.

“Betul sekali! Terima kasih, Senja. Kapan-kapan kita main bareng, ya. Aku mau cari sepupuku yang jelek itu dulu.” Banyu turun dari sepeda dan menepuk bahuku. Sekali lagi.

Tubuhku bahkan lebih tinggi darinya. Banyu selalu bertubuh kurus namun terlihat kokoh dengan kulit coklat, menurutku seperti sebuah tongkat bisbol kayu.

Itulah perjumpaan pertamaku dengan Banyu. Tetangga yang bertemu di pinggir jalan. Yang satu terengah-engah, yang satu lagi tengah bersepeda dengan riang gembira.