Terik matahari selalu menyengat kulitku. Aku yang selalu malas menggunakan tabir surya, lebih memilih menahan perih sesudah berpanas-panasan di bawah sinar matahari. Dan untungnya Banyu mengerti. Dia begitu mengerti akan kecintaanku pada matahari. Dia sangat mengerti bagaimana aku membenci air hujan dan basah kuyup karenanya.
Inilah ceritaku. Bersama matahari, juga Banyu.
Aku tidak bisa tidak ingat akan momen itu, ketika aku dan Banyu tengah berbaring di taman beberapa pekan lalu. Dengan tubuh yang terasa begitu ringan karena hanya mengenakan terusan tipis bercorak bunga, aku membiarkan setiap bagian tubuhku tertusuk rumput-rumput di taman. Sementara itu, kepala Banyu ada di atas perutku, perut yang telah sedikit membuncit karena terlalu sering diajak makan es krim oleh Banyu.
Sambil memejamkan mata karena silaunya sinar matahari, tangan kananku membelai rambut Banyu yang sudah mulai panjang dan semakin mencoklat. “Sudah waktunya kamu potong rambut. Rambutmu begitu berantakan.”
“Aku lebih suka begini,” jawabnya ringan. Aku membuka mata, terbelalak. Banyu nyengir lebar. Aku bisa melihat dengan jelas gigi-giginya yang putih dan rapi, seperti barisan anak sekolah yang tengah bersiap mengikuti upacara bendera. Gigi-gigi itu sudah tidak kecil lagi, tidak ada lagi gigi susu.
“Kenapa kamu lebih suka begini?” Jari-jemariku menyisip di helai-helai rambutnya. Semakin sering dia bermain di bawah matahari bersamaku, warna rambutnya semakin coklat–begitu kontras dengan kedua alisnya yang berwarna hitam legam.
“Entah. Aku juga bingung kenapa. Rasanya sedikit lebih nyaman dari biasanya, seperti nggak ada batasan.”
Aku semakin bingung. Dahiku berkerut, mendekatkan kedua alisku yang biasanya sedikit berjauhan. “Sejak kapan rambut ada batasan?”
Banyu mengangkat bahu. Tulangnya langsung menyentuh pinggangku. “Kenapa sepertinya semua hal harus ada jawabannya, Senja?”
Bibirku menyudut ke kiri. Aku hanya bisa tersenyum kecil. Banyu benar. “Aku mulai mengantuk.”
“Kamu seharusnya kepanasan, bukan mengantuk. Kamu mau es krim?” Jari-jemari Banyu menggapai tangan kiriku, menyelipkannya di antara jari-jemariku.
“Untuk hari ini, nggak. Aku hanya mau tidur sejenak. Kita tidur siang di sini saja, ya. Kecuali kamu mau segera pulang…”
Dengan kepala yang masih ada di atas perutku, Banyu menggeleng. Aku menahan kepalanya dengan telapak tangan kananku yang mungil. “Jangan banyak bergerak. Geli.”
Banyu memejamkan mata dan mengacungkan jempol tangan kanannya tinggi-tinggi. “Mari kita tidur. Bersama matahari. Itu kan maumu?”
“Iya. Dan semua ini sudah lebih dari cukup. Aku hanya ingin berbaring di sini lebih lama lagi.”
“Aku yakin, matahari tidak akan pergi sampai kamu benar-benar sudah puas tidur di sini. Sudah terlalu lama kamu bersahabat dengan matahari…”
Tanpa menjawab, perlahan-lahan aku tenggelam dalam tidur.