Selama ini, aku lebih banyak bercerita tentang diriku ketika berbicara tentang Banyu. Jika ada tentang Banyu, itu pun biasanya berhubungan dengan hubungan kami berdua. Hingga pada akhirnya, aku merasa perlu untuk menceritakan siapa Banyu yang sebenarnya–terlepas dari fakta-fakta umum bahwa Banyu senang sekali berselancar dan makan (bersamaku). Jadi, kali ini aku akan bercerita tentang Banyu. Hanya tentang Banyu.
Kalian tentu sudah tahu bagaimana aku dan Banyu berkenalan lebih dari dua belas tahun yang lalu. Jika saat itu Rama, sepupu Banyu, tidak ‘mengambil’ sepedanya, mungkin aku tidak akan pernah mengenal dia.
Sejak saat itu, kami menjadi cukup sering bermain bersama, sementara Rama hanya datang sesekali ke rumah Banyu karena dia tinggal di kota yang berbeda. Pada awalnya, aku seringkali canggung saat berhadapan dengan Banyu karena ia jarang sekali berbicara. Akan tetapi, lama-kelamaan, aku bisa memahami karakternya. Banyu Biru tidak suka bercerita ketika ditanya, tapi akan selalu bercerita ketika ia ingin bercerita. Mulai dari hal-hal kecil hingga yang besar.
Aku ingat betul bagaimana Banyu pernah datang tiba-tiba ke rumahku malam-malam, kira-kira sepuluh tahun lalu, hanya untuk menceritakan bagaimana ia berhasil memperbaiki sendiri rem sepedanya yang rusak. Juga bagaimana ia menceritakan bagaimana ia rindu ayahnya yang meninggal persis sebelum ia pindah ke kota kami, di saat kami sedang asyik makan es krim di taman dekat rumah beberapa tahun lalu.
Ayah Banyu, yang bernama Arga, dulunya bekerja sebagai seorang teknisi pesawat, sementara ibunya, Tante Sohita, telah membuka sanggar tari di rumah sejak Banyu lahir. Sebelum Banyu lahir, Tante Sohita menjadi pengajar tari di salah satu tempat kursus tari yang berlokasi di Jakarta. Beliau pun sempat menjadi penari balet selama beberapa tahun hingga akhirnya memutuskan untuk menekuni seni tari tradisional.
Berbeda dengan kedua orang tuanya, Banyu sama sekali tidak tertarik pada dunia aviasi atau penerbangan maupun dunia tari. Di waktu senggang, ia pun lebih suka bersepeda atau berselancar. Dan tiap kali aku melontarkan pertanyaan, “Banyu, apa cita-citamu?”, Banyu pun tidak pernah bisa menjawab. Ia hanya bisa mengangkat bahu sambil menatap wajahku lekat-lekat. Setelahnya, ia balik bertanya padaku, dan aku pun menjawab bahwa aku ingin menjadi seorang pelukis.
Pada akhirnya, aku pun kerap bertanya-tanya apakah seorang Banyu Biru memiliki cita-cita atau tujuan hidup yang ingin dicapainya. Ah, sepertinya tidak juga. Banyu yang kukenal adalah Banyu yang punya caranya sendiri. Seorang anak laki-laki yang tidak pernah belajar, tapi bisa dengan mudahnya menangkap segala informasi yang ia lihat dan dengar, sehingga ia selalu memperoleh peringkat pertama di sekolah. Banyu Biru yang tidak pernah banyak bicara, tapi selalu bisa membuatku tenang hanya dengan melihat senyumnya.
Sepertinya, cukup sampai di sini saja ceritaku tentang Banyu. Meski demikian, masih ada banyak cerita tentangnya yang ingin aku ceritakan dan yang harus aku ceritakan. Terlebih, karena sebagian diriku dan hidupku adalah tentang Banyu. Ya, tentang Banyu.