Aku terlalu mengandalkan Banyu. Selama ini, dia selalu muncul ketika aku membutuhkannya. Dia kerap menyelinap ke kamarku lewat jendela, berusaha menenangkanku ketika aku merasa sedih atau marah, hingga aku tertidur lelap. Dan begitu dia menghilang, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
Kamu tahu bagaimana rasanya kehilangan? Saat seseorang pergi dari hidupmu, rasanya ada bagian dari dirimu yang ikut menghilang bersamanya. Akan tetapi, setiap kali Banyu menghilang, aku merasa seperti ada yang bergejolak di dalam perutku. Aku merasa sedikit mual, tapi juga yakin bahwa dia akan selalu kembali. Karena setiap kali Banyu menghilang, biasanya dia akan muncul lagi–tepat ketika aku berhenti mencari.
Kali pertama Banyu menghilang, aku benar-benar panik. Rasanya seperti seorang anak kecil yang tersesat di pasar tradisional yang penuh sesak. Sendirian mencari ibunya. Di tengah hiruk-pikuk dan teriakan orang-orang yang saling tawar-menawar. Semua keributan dan suara yang muncul bisa diibaratkan angin lalu. Mungkin ini yang orang-orang sebut sebagai halusinasi. Aku sendiri tidak pernah benar-benar merasakan halusinasi, tapi yang jelas, sulit sekali bagiku untuk memusatkan perhatian pada hal-hal yang benar-benar membutuhkan perhatianku.
Bukan berarti Banyu pergi tanpa pamit. Justru karena dia selalu pergi dengan pamit. Waktu itu, dia meninggalkan pesan di meja belajar kamarku, “Aku pergi sementara. Jangan mencariku.” Bagaimana mungkin aku tidak mencarinya? Begitu aku membaca pesan itu, aku langsung mengayuh sepedaku, mencarinya ke pantai tempat kami biasa bermain bersama. Dalam perjalanan menuju ke pantai, aku hanya berharap dapat menjumpai Banyu di atas papan selancarnya begitu aku tiba di pantai. Sayangnya, aku salah. Tapi, tidak ada salahnya berharap, bukan?
Setelah pergi ke pantai, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Banyu dan bertanya pada Tante Sohita. Ya, siapa tahu saja dia tahu Banyu pergi ke mana. “Dia pergi, entah ke mana. Kamu tahu kan, dia nggak akan ke mana-mana? Kamu nggak perlu khawatir, Senja. Dia akan selalu kembali.” Omongan Tante Sohita tersebut memang benar, tapi entah kenapa, aku merasa harus mencari Banyu.
Hari itu aku pulang ke rumah tanpa tahu ke mana Banyu pergi. Dan sekitar seminggu setelahnya, Banyu kembali. Dia kembali dengan tato baru di betis kanannya dan senyum yang selalu membuat hatiku luluh. Selama seminggu dia menghilang, aku bahkan sempat membuat tujuh lukisan sekaligus–sesuatu yang hampir mustahil kulakukan ketika Banyu berada di dekatku. Saat Banyu menghilang, aku benar-benar menghabiskan waktu untuk diriku sendiri.
Waaaaah keluar lagi Senja sama Banyu hehehehe
Btw bte nih… kok enggak senampol biasanya nih mbak? Tumbenan ih. Biasanya nampol bangeeeet hehehehe
Ah… Mungkin karena mood kali, ya. *alesan* Pantengin ya, Mas, sebentar lagi mau nulis yang nomor 12 😀
Iyaaaa udah baca sekilas yang 12, baca depannya doang kayaknya gregetnya keluar lagi deh hehehe. Naaaah gara-gara gregetnya jadi inget ada komenan yang ini hehehe
:”) yaaaaaay! makasih udah ngikutin ceritanya ya~